Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan menyayangkan kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang meniadakan syarat patuh ketentuan pajak bagi calon anggota legislatif (caleg), calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga mengatakan, terdapat perubahan peraturan terkait syarat untuk caleg, capres dan cawapres terkait perpajakan.
Perubahan tersebut terdapat dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018, tentang tidak adanya syarat menaati ketentuan perpajakan, diantaranya laporan SPT 5 tahun terakhir dan pernyataan dari kantor Pajak para calon tidak memilik utang pajak.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi dua hal itu yang ada untuk pencalonan presiden, wapres, gubernur, bupati, walikota, caleg, ini yang enggak ada," kata Hestu, dalam sebuah diskusi, di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (13/9/2018).
Seharusnya, KPU tetap mempertahankan syarat memenuhi ketentuan perpajakan untuk para calon seperti sebelumnya. Dia pun menyayangkan syarat tersebut dihilangkan.
"Ini beda peraturan KPU 2015 salah satu syarat dia harus menyerahkan SPT tahunan 5 tahun terakhir, satu keterangan dari KPP pajak dia tidak punya hutang pajak," jelasnya.
Hestu pun berharap, agar KPU mengakomodir keinginan Direktorat Jenderal Pajak untuk kembali menyertakan syarat memenuhi ketentuan perpajakan, bagi para caleg, capres dan cawapres. Agar sebelum terpilih, sudah terlebih dahulu taat pajak.
"Kami berharap KPU mengakomodir ini, jadi jangan di-publish yang nunggak pajak, tapi SPT, lima tahun terakhir itu saja dulu," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penerimaan Pajak Capai Rp 799,47 Triliun per 31 Agustus 2018
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajakhingga per 31 Agustus 2018 mencapai Rp 799,47 triliun.
Realisasi ini setara dengan 51,14 persen dari target penerimaan pajak pada APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun. Direktur Jenderal Pajak, Robert Pakpahan menyatakan, jumlah tersebut cenderung naik sebesar 16,52 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2017, yang hanya mencapai 10,17 persen.
"Apabila tidak memperhitungkan penerimaan dari uang tebusan tax amnesty, Januari sampai Maret 2017, maka pertumbuhan tahun 2018 mencapai 18,59 persen," ujar Robert di ruang rapat Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat dengar (RDP), di DPR RI, Jakarta, Selasa (4/9/2018).
BACA JUGA
Robert mengatakan, secara umum semua jenis pajak utama tercatat tumbuh dengan penyumbang penerimaan terbesar yaitu PPN impor tumbuh 27,44 persen, PPh Badan sebesar 23,34 persen, kemudian untuk PPh Pasal 21 sebesar 16,36 persen dan PPN Dalam Negeri tumbuh 9,44 persen. Berdasarkan jenis industri, penerimaan dari berbagai sektor utama juga menunjukkan pertumbuhan.
Industri pengolahan dan perdagangan yang merupakan dua sektor penyumbang penerimaan terbesar tumbuh masing-masing 13,5 persen dan 29,6 persen.
Robert menilai, tren pertumbuhan ini pun memberikan indikasi positif, DJP akan mampu mencapai outlook realisasi penerimaan pajak 2018 yang diperkirakan sebesar Rp 1.350 triliun atau tumbuh sebesar 17,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1.151 triliun.
"Realisasi outlook tersebut dengan pencapaian sebesar 94,87 persen dari target APBN TA 2018," ujar dia. Robert pun menyebut, outlook realisasi penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2018 juga lebih baik daripada realisasi tahun 2017 dengan capaian sebesar 88,68 dan pertumbuhan 4,07 persen.
Advertisement