Liputan6.com, Jakarta Industri financial technology (fintech)Â dinilai bisa ikut membantu penyaluran permodalan untuk sektor usaha mikro. Ini karena kemudahan persyaratan meminjam fintech dibandingkan dengan perbankan.
"Fintech ini kan memang persyaratannya mudah sekali. Di mana UMK ini kan unbankeable, susah masuk ke bank. Mereka pasti akan mencari alternatif pembiayaan," ujar Peneliti Indef, Nailul Huda menilai seperti dikutip Antara, Kamis (13/9/2018).
Menurut dia, alasan lain pelaku usaha kecil mencari alternatif pembiayaan kepada perusahaan fintech adalah karena bisa menghindarkan para pengusaha mikro dari jeratan rentenir.
Advertisement
Oleh karena itu, dia berharap adanya kerja sama antara perbankan dengan industri fintech khususnya yang berbasis pembiayaan agar masyarakat kecil mendapat kemudahan mengakses dana untuk memulai maupun mengembangkan usaha.
"Bank sulit menjangkau UMKM ini, khususnya mikro. Itu adalah kelebihan fintech. Kalau bisa dikolaborasikan bagus sekali," katanya.
Hingga saat ini, nilai pinjaman fintech lending ke sektor perdagangan eceran mencapai 70 persen dari total penyaluran dana industri yang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Juni 2018, diketahui sudah ada aliran pinjaman senilai Rp 7,64 triliun yang tersalur dari berbagai penyelenggara fintech lending. Artinya, jika 70 persen-nya diserap oleh sektor pedagang eceran, ada sekitar Rp 5,35 triliun dana dari fintech yang mengalir ke usaha mikro.
Berdasarkan data International Finance Corporation (IFC), pelaku UMKM di Indonesia masih kesulitan mendapatkan kredit pembiayaan dari sumber-sumber konvensional untuk mendorong perkembangan bisnis.
Kesulitan tersebut, di antaranya terlihat dari kesenjangan pembiayaan untuk sektor usaha kecil dan menengah yang mencapai USD 166 miliar sekitar 19 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) pada 2017.
Sejauh ini, pinjaman perbankan ke sektor usaha mikro rata-rata baru mencapai sekitar 1314 persen. Karenanya, menurut Huda, meminjam lewat fintech lending menjadi salah satu solusi untuk menggarap pangsa pasar kredit mikro yang belum dioptimalkan perbankan.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih mengaku tidak heran dengan temuan bahwa mayoritas penyaluran dana fintech lending masuk ke nasabah kredit mikro. Menurutnya, hal ini terjadi karena fintech bisa menjadi alternatif pilihan pinjaman bagi pelaku usaha mikro yang rata-rata unbankable.
"Pelaku mikro itu sering mengeluh karena mereka itu tidak bankable dari sisi agunan, sisi kolateral, terus suka dimintai berbagai persyaratan arus kas dll. Mereka kesulitan," katanya.
Aturan meminjam di fintech yang lebih longgar bisa jadi menjadi salah satu alasan masyarakat memilih kredit online ini dibandingkan bank. Pada akhirnya, fintech menjadi pelengkap peran perbankan untuk menyalurkan dana ke usaha mikro.
Hanya saja dia mengingatkan, penyelenggara fintech mesti berhati-hati memberikan pinjaman ke usaha mikro. Sebab, risiko gagal bayar sektor usaha ini cukup besar.
YLKI Desak OJK Blokir Perusahaan Fintech yang Teror Konsumen
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera menutup atau memblokir perusahaan financial technology (fintech) yang terbukti melakukan pelanggaran hak-hak konsumen, baik secara perdata dan atau pidana.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyatakan, upaya tersebut perlu dilakukan OJK mengingat banyaknya pengaduan konsumen yang menjadi korban perusahaan fintech.
Terlebih saat ini sudah lebih dari 100 pengaduan konsumen korban fintechditerima YLKI, baik berupa teror, denda harian dan atau bunga atau komisi yang tinggi.
"Pelanggaran itu berupa teror fisik by phone, whatsapp atau SMS. Pelanggaran juga berupa pengenaan denda harian yang sangat tinggi, misalnya Rp 50 ribu per hari dan atau bunga 62 persen dari hutang. Ini jelas pemerasan," ungkap Tulus melalui keterangan resminya, Rabu (12/9/2018).
Baca Juga
YLKI juga mendesak OJK untuk segera memblokir perusahaan fintech yang tidak mempunyai izin (ilegal), tetapi sudah melakukan operasi di Indonesia.
Dari lebih 300 perusahaan fintech yang beroperasi, hanya ada 64 perusahaan saja yang mengantongi izin dari OJK. "Ini menunjukkan OJK masih sangat lemah dan atau tidak serius dalam pengawasannya," imbuhnya.
Oleh karenanya, YLKI meminta konsumen untuk tidak melakukan utang piutang dengan perusahaan fintech atau kredit online yang tidak terdaftar dan berizin dari OJK.
Jika konsumen nekat dan terjebak pada hutang piutang dengan perusahaan fintek atau kredit online ilegal, maka tidak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
Â
Advertisement