Sukses

Mulai 10 Oktober, Impor Barang Kiriman Jadi USD 75

Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memberlakukan aturan baru terkait impor barang kiriman.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memberlakukan aturan baru terkait impor barang kiriman.  Aturan baru itu dengan memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari USD 100 menjadi USD 75 per hari.

Kebijakan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.

Adapun aturan ini telah ditetapkan di Jakarta dengan ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 6 September 2018, serta akan mulai berlaku pada 10 Oktober 2018.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi mengatakan, aturan ini diambil untuk menciptakan level playing field antara hasil produksi dalam negeri yang produknya mayoritas berasal dari IKM yang membayar pajak dengan produk-produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum yang masih banyak beredar di pasaran.

"Pertimbangan ini diambil berangkat dari masukan beberapa asosiasi IKM. Kementerian Perindustrian, asosiasi fon/varder (ALFI), dan pengusaha retail atau distributor offline," ujar dia di Gedung Djuanda Kementerian Keuangan, Jakarta (17/9/2018). 

Dia pun menyatakan, penyesuaian de minimis value ini juga merupakan rekomendasi dari World Customs Organization (WCO). Hasil studi tentang perkembangan e-commerce menunjukkan praktik underdeclaration, under-valuation, misdeclaration, hingga splitting barang kiriman kini kian marak.

Pada kesempatan tersebut, Heru pun menekankan aturan ini akan berlaku untuk semua jenis barang. Adapun dalam Pasal 20 ayat 2 PMK 112, disebutkan penetapan pembebanan tarif bea masuk dikecualikan terhadap impor barang kiriman berupa buku.

Lebih lanjut, ia juga menceritakan hasil penindakan yang dilakukan Ditjen Bea Cukai pada 3 Agustus 2017. Dari hasil penindakan terdapat pelaku yang melakukan kegiatan transaksi yang dipecah-pecah atau splitting, yakni sebanyak 400 kali impor dalam satu hari dengan nilai rata-rata per invoice-nya sekitar USD 75.

"Kami mendapatkan fakta, transaksi model ini ternyata secara tren meningkat tajam. Bahkan ada yang dalam sehari mereka melakukan 400 kali transaksi, dengan nilai total USD 20.300, atau sekitar Rp 300 juta lebih," kecam dia.

Untuk mencegah tindak serupa terulang, Heru menyampaikan, Ditjen Bea Cukai telah memperkuat sistem Otomasi pada komputernya agar dapat melacak NPWP dan alamat pihak pembeli yang coba mengakali aturan ini.

"Dengan demikian, saya imbau ke mereka yang masih gunakan peluang tersebut untuk tidak lagi menjalankan bisnis seperti ini dan bisa segera patuhi aturan baru," ujar dia.

Dengan diperbaruinya aturan impor barang kiriman ini, dia pun menegaskan, pemerintah tidak melarang masyarakat untuk membeli atau membawa barang dari luar negeri.

Namun yang lebih ditekankan adalah untuk menghindari penyalahgunaan fasilitas de minimis value untuk tujuan komersial. 

"Pemerintah ingin masyarakat dapat memanfaatkan pembebasan bea masuk dan PDRI untuk barang kiriman yang memang ditujukan untuk keperluan pribadi. Selain itu pemerintah tentu ingin mendorong produksi lokal, dan mendorong penggunaan produk-produk dalam negeri," pungkas Heru. 

 

 

2 dari 2 halaman

Kenaikan PPh Impor untuk Tahan Pelemahan Rupiah Dinilai Tepat

Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo mendukung langkah pemerintah untuk menaikkan tarif pajak penghasilan (Pph) impor. Kebijakan mengendalikan impor dinilai tak salah saat situasi gejolak nilai tukar rupiah sedang terjadi.

Dia mengungkapkan, pemerintah sudah menaikkan tarif Pajak Penghasilan ( PPh) impor atau PPh pasal 22 atas 1.147 komoditas atau produk. Langkah ini dilakukan ketika durasi gejolak nilai tukar valuta, atau penguatan nilai tukar dolar AS, masih sulit diprediksi.

‎"‎Pengendalian impor bukan kebijakan yang salah. Karena itu, pimpinan DPR mendukung dan sepakat dengan keputusan ‎pemerintah itu," kata dia, Minggu 16 September 2018.

Bahkan Politikus Golkar ini mengatakan, Pimpinan DPR mendorong tim ekonomi pemerintah dan Bank Indonesia untuk terus mengkreasi penyesuaian kebijakan untuk menanggapi ketidakpastian kondisi global saat ini. Ketahanan ekonomi nasional sedang diuji, sehingga penyesuaian kebijakan memang diperlukan. 

Dia menilai, adalah fakta bahwa Indonesia bersama banyak negara lain sedang menyongsong ketidakseimbangan (disequilibrium) baru.

Hal ini dipicu gejolak nilai tukar valuta dan perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat (AS). Untuk mereduksi dampak dari ketidakseimbangan baru itu, Indonesia memang harus melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi.  

"Jika penyesuaian tidak segera dilakukan, Indonesia justru akan terlihat konyol.  Sebab, ketidakseimbangan baru itu akan menghadirkan beberapa dampak, yang langsung maupun tak langsung, akan membuat banyak orang tidak nyaman," ulas dia.

Namun, dia meminta setiap penyesuaian kebijakan hendaknya disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini guna menghindari salah pengertian atau salah persepsi. Misalnya, pemerintah harus tetap mengkalkulasi kebutuhan konsumsi masyarakat. Serta menjaga kebutuhan dan keberlanjutan aktivitas industri dalam negeri.

Sebagai contoh, dia menilai harus dilakukan impor bahan bakar minyak (BBM) dan belasan komoditi pangan secara regular. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Selain itu, secara regular, pemerintah harus melaksanakan kewajiban bayar atas utang luar negeri yang jatuh tempo. Dan untuk menjaga aktivitas industri dan produksi, impor komponen barang modal harus bisa diatur sedemikian rupa.

"Karena terjadi penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, pengeluaran atau nilai belanja impor oleh pemerintah dan swasta tentu saja mengalami pembengkakan," kata dia.

Pada titik itulah, pemerintah wajib untuk terus dan berani mengkreasi penyesuaian kebijakan. Ini agar negara tetap mampu melayani masyarakat, dan juga agar keuangan negara tetap dalam kondisi sehat dan terkendali.

"DPR berharap pemerintah tidak ragu untuk melakukan penyesuaian lainnya, kalau memang penyesuaian itu sangat diperlukan dan tak terhindarkan," dia menandaskan.

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

Â