Liputan6.com, Jakarta - Indonesia harus berupaya untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang melanggar perjanjian internasional.
Sebab, hal ini yang menjadi salah satu pemicu terjadinya perang dagang, seperti yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iman Pambagyo mengatakan, salah satu alasan AS menerapkan kenaikan tarif baja dan aluminium asal Negeri Tirai Bambu lantaran pemerintah China dianggap melakukan kecurangan. Jadi produk baja dan aluminium China berkembang sangat pesat.
Advertisement
Baca Juga
"Kenapa AS mengambil tindakan seperti itu ke China yang kemudian dibalas China. Itu karena AS merasa China itu curang. Dalam forum WTO itu digunakan kesempatan AS untuk menunjukkan betapa curangnya China," ujar dia di Kantor Kemendag, Jakarta, Selasa (18/9/2018).
Belajar dari hal ini, lanjut Imam, pemerintah Indonesia akan berupaya meminimalkan kebijakan yang berpotensi melanggar komitmen internasional baik di WTO maupun Fre Trade Agreement (FTA).
"Perjanjian di WTO atau lainnya itu tidak sempurna seperti kitab suci. Ada beberapa pilar utama dari WTO yaitu forum perundingan, monitoring dan kepatuhan, serta forum menyelesaikan sengketa. yang berjalan hanya pilar menyelesaikan sengketa,” ujar dia.
"Dengan contoh AS mengambil unilateral action, jadi kita perlu meminimalkan kebijakan yang berpotensi melanggar komitmen internasional Indonesia," tambah dia.
Mendag Pastikan RI Tak Kena Tegur WTO soal Pajak Impor Komoditas
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memastikan Indonesia tidak akan mendapat teguran dari World Trade Organization (WTO) terkait dengan kebijakan kenaikan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 menjadi 10 persen terhadap 1.147 barang konsumsi yang diimpor.
Bahkan, kebijakan ini diyakini tidak akan berpengaruh pada penilaian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) atau kebijakan perdagangan yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor suatu negara penerima yang diberikan oleh negara maju untuk membantu negara berkembang.
"Tidak usah dikhawatirkan. Ini PPh Pasal 22 tidak melanggar WTO dan bisa dikreditkan dan yang kita persoalkan jenisnya. Kita juga berharap masih tetap dapat fasilitas GSP. Sebab, kita sudah dapat pengecualian untuk besi dan baja, juga relaksasi ekspor strategis untuk CPO dan rotan setengah jadi," jelas Enggartiasto di Kementerian Keuangan Jakarta, Rabu, 5 September 2018.
Salah satu pertimbangan pemerintah merevisi tarif PPh 22 untuk barang impor, yakni untuk mengendalikan defisit. Data Kementerian Keuangan menunjukkan nilai impor 1.147 barang impor tersebut pada 2017 mencapai USD 6,6 miliar.
Sementara, sampai pertengahan 2018 nilainya sudah mendekati capaian 2017, yakni mencapai USD 5 miliar. Besarnya impor ini turut berpengaruh pada defisit neraca transaksi berjalan mencapai USD 13,5 miliar pada semester I 2018.
Untuk meningkatkan kinerja ekspor, Enggar pun menyatakan Kementerian Perdagangan siap melakukan percepatan kerja sama perdagangan pasar dengan Australia melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) pada November nanti. Ini sebagai salah satu upaya menambah devisa agar angka defisit bisa menurun.
"Dengan itu pengusaha bersiap meningkatkan ekspor tekstil ke Australia. Kami juga tengah menyelesaikan perjanjian perdagangan dengan Tunisia, Maroko, dan Mozambik," pungkas Enggartiasto.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement