Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan berhasil menyelamatkan potensi kehilangan pendapatan negara sebesar Rp 1,5 triliun. Hal itu lantaran ada penurunan jumlah peredaran rokok ilegal.
Direktur Jenderal Bea Cu‎kai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi mengatakan, peredaran rokok ilegal sempat meningkat dari 2010 sebesar 6,1 persen menjadi 12,1 persen pada 2016. Kemudian menurun menjadi 10,9 persen pada 2017 dan 2018 menjadi 7,04 persen.
"Tahun ini 7,04 persen, artinya terjadi pembalikan tren, mengalami penurunan, berkurang dari 2 tahun lalu," kata Heru, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Advertisement
Baca Juga
Heru mengungkapkan,‎ dibanding dua tahun lalu persentase pelanggaran 12,14 persen nilai pelanggaran atau kehilangan potensi pendapatan negara karena rokok ilegal sebesar Rp 2,42 triliun. ‎
Sedangkan tahun ini dengan pelanggaran rokok ilegal 7,04 persen, potensi kehilangan negara sebesar Rp 909 miliar, sehingga dalam dua tahun potensi pendapatan negara yang dapat diselamatkan mencapai Rp 1,51 triliun.
"Jadi negara kehilangan Rp 2,42 triliun dari cukai. Jika dibandingkan dengan sekarang, Ditjen Bea Cukai berhasil menyelamatkan keuangan negara Rp 1,51 triliun," tuturnya.
Heru menuturkan, pencapaian tersebut merupakan buah dari penindakan terhadap peredaran rokok ilegal. Tercatat dari 2013, instansinya melakukan 635 tindakan, sedangkan pada 2017 meningkat drastis menjadi 3.366 tindakan.
"Tentunya ini tidak dengan sendirinya turun, karena kita melakukan penindakan. Penindakan dilakukan Bea Cukai naik tajam 2013 menjadi 635, tindakan 2017 sebanyak 3.366 tindakan. Ini naik 6-7 kali lipat ini, kenapa rokok ilegal turun," ujar dia.
Â
Peredaran Rokok Ilegal Menurun pada 2018
Sebelumnya, peredaran rokok illegal menurun pada 2018. Angka nilai pelanggarannya sebesar Rp 909,45 miliar-Rp 980 miliar pada saat ini.
Hal itu berdasarkan survei penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (FEB UGM) pada 2018.
Peneliti P2EB FEB UGM, Arti Adji, mengatakan berdasarkan survei yang dilakukan di 426 kota kabupaten di Indonesia, terdapat penurunan presentase rokok ilegal pada 2018, yaitu menjadi 7,04 persen dibanding 2016 sebesar 12,14 persen.
‎"Dari 2010-2016 ini tren meningkat. Pada 2014 terdapat 7,04 persen, 2016 12,14 persen. Di 2018 itu angkanya menurun,"‎ kata Arti, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis 20 September 2018.
Hasil perhitungan menunjukan persentase pelanggaran yang dilakukan industri rokok secara nasional adalah 7,04 persen. Artinya dari 100 bungkus rokok yang dijumpai di warung-warung, 7,04 bungkus rokok yang melangar.
Arti menuturkan, penurunan peredaran rokok ilegal merupakan dampak dari peningkatan tindakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dalam menindak peredaran rokok ilegal.
"Dikontrol oleh Ditjen Bea dan Cukai. Mungkin 2018 7 persen tren penurunan tinggi Ditjen Bea Cukai lebih meningkat dalam melakukan tindakan," tutur dia.
Arti mengungkapkan, berdasarkan survei dengan berbagai pendekatan, pelanggaran rokok ilegal mencapai ‎Rp 909 miliar-Rp 980 miliar. Hal tersebut berdasarkan perhitungan setiap batang dalam satu bungkus rokok yang melanggar. Dalam survei ini, terdapat 16 ribu lebih bungkus sampel rokok ilegal.
"Setiap bungkus rokok yang melanggar, setiap batang rokok kami hitung. Nilai pelanggaran ini kami hitung setiap batang besar tarif cukai. ‎Nilai rupiah pelanggaran kami hitung total pelanggaran di setiap desa, berdasarkan sampel warung," kata dia.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement