Sukses

Indonesia Tunda Proyek Infrastruktur, Apa Kata Bank Dunia?

Bank Dunia merespons penundaan proyek infrastruktur di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Presiden Joko Widodo memutuskan untuk melakukan penundaan beberapa proyek infrastruktur. Itu terjadi karena adanya pelemahan rupiah dan defisit neraca berjalan, sehingga berefek pada impor untuk pembangunan.

Menanggapi hal tersebut, pihak Bank Dunia mengaku memahami kondisi pemerintah, namun dengan beberapa catatan.

"Jadi kami mengerti kekhawatiran Pemerintah tentang defisit neraca berjalan," ujar Ekonom Kepala Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander dalam sesi Tanya Jawab Bersama Bank Dunia, seperti ditulis Rabu (26/9/2018). 

"Ketika peredaran dolar AS semakin sedikit di luar, Anda perlu mengurangi pemakaian dolar AS dalam pembiayaan, itu adalah kekhawatiran yang valid," imbuhnya.

Frederico melanjutkan, Indonesia memiliki ketertinggalan infrastruktur yang sangat besar. Meski melihat adanya percepatan pembangunan infrastruktur, ia menilai Indonesia masih perlu terus melakukan pembangunan.

Namun, untuk saat ini, dia memaklumi penundaan. Proyek infrastuktur butuh banyak impor, sementara Indonesia sedang mengalami defisit neraca berjalan, dan impor barang pun dibatasi oleh pemerintah.

"Mungkin (solusi penundaan) ini dalam jangka pendek, karena Anda harus mengimpor mesin, Anda harus impor kereta untuk MRT, Anda harus impor truk untuk membawa material dalam membangun jalan. Untuk jangka pendek, ya, ini punya dampak ke neraca berjalan," tegasnya.

Dia pun mengingatkan untuk fokus pada jangka panjang. Sebab, pembangunan infrastruktur bisa menjadi investasi untuk mengurangi impor, dan pada akhirnya meningkatkan ekonomi.

"Dalam jangka panjang, rel kereta, jalanan, MRT, dapat meningkatkan produktivitas dan aktivitas ekonomi. Jadi, kami berharap Indonesia akan melanjutkan momentum untuk menutup ketertinggalan infrastruktur," ucap Frederico.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Bank Dunia Bandingkan Kondisi Ekonomi Indonesia dan Turki

Berbicara pelemahan mata uang, Bank Dunia telah meyakinkan Indonesia tidak seburuk krisis 1998. Pihak Bank Dunia pun telah membandingkannya dengan Turki. 

Ini dipastikan oleh Country Director of the World Bank Indonesia Rodrigo Chaves. Dia menerangkan bahwa memang ada kejadian-kejadian ekonomi di dunia, seperti perang dagang dan potensi Brexit. Namun, menurutnya, Indonesia berhasil merespons dengan baik.

"Pasar melihat bagaimana kebijakan serta respons dari pemerintah, dan kami melihat sebuah kabinet yang bekerja sangat baik bersama-sama dalam menangani isu fiskal, dan sebuah bank sentral independen yang telah menunjukkan komitmen pada stabilitas," ujarnya saat ditemui Liputan6, pada Jumat, 7 September 2018.

Chaves turut memuji Gubernur BI Perry Warjiyo yang telah menaikkan suku bunga sampai 5,5 persen, juga karena komitmen Perry untuk tetap siaga dan proaktif. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun juga dipuji karena berkolaborasi dengan baik dengan Bank Indonesia.

Lebih lanjut, Chaves memberi contoh betapa berbedanya Indonesia dan Turki. Sementara kondisi Indonesia lebih kompak, apa yang terjadi di Turki justru sebaliknya. Di sana, pemerintahan Erdogan terang-terangan menentang rencana kenaikkan suku bunga oleh bank sentral.

"Pemerintahan dan bank sentral (di Turki) tidak bekerja bersama. Faktanya, mereka memberi pesan yang berbeda. Jadi, tidak adanya kredibilitas kebijakan, serta respons, terhadap kejadian eksternal. Itulah mengapa pasar, di antara banyak pihak lainnya, telah menghukum pemimpin Turki sedemikian rupa," jelas Chaves.

Pihak Bank Dunia pun memastikan kondisi Indonesia sekarang tidak sama dengan 1998 ketika rupiah terdepresiasi sebanyak 32 persen dalam semalam. Depresiasi rupiah pada 2013 pun sebetulnya lebih parah, yakni 21 persen ketika ada situasi global, yakni taper tantrum.

"Hari ini, fundamental ekonomi negara ini lebih kuat. Inflasi lebih rendah, dan ada cadangan yang cukup, serta cadangan moneter internasional. Kebijakan fiskal sangat pruden, kebijakan moneternya kredibel. Ini artinya , garis pangkal terhadap situasi sekarang lebih kuat," ucap Chaves.