Sukses

Rupiah Melemah 8,97 Persen hingga September 2018

Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah masih mengalami depresiasi, tetapi dengan volatilitas yang masih terjaga.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah masih mengalami depresiasi, tetapi dengan volatilitas yang masih terjaga.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan depresiasi rupiah sejalan dengan mata uang negara peers akibat berlanjutnya penguatan dolar Amerika Serikat (AS) yang luas.

"Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 1,05 persen pada Agustus 2018. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah relatif terbatas pada September 2018 sehingga pada 26 September 2018 ditutup pada level Rp 14.905 per dolar AS," kata Perry di kantornya, Kamis (27/9/2018).

Dengan perkembangan ini, ia menuturkan, secara year to date (ytd) hingga 26 September 2018, Rupiah terdepresiasi 8,97 persen atau lebih rendah dari India, Afrika Selatan, Brasil, dan Turki.

"Ke depan, Bank Indonesia terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, serta menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan," ujar Ferry.

Kebijakan tersebut, kata Perry, akan diarahkan untuk menjaga volatilitas nilai tukar rupiah serta kecukupan likuiditas di pasar.

"Sehingga tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," ujar dia.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka

 

2 dari 2 halaman

3 Faktor yang Bikin Tekanan Rupiah Lebih Rendah pada 2019

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) optimistis tekanan pada nilai tukar rupiah akan melemah pada 2019.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengungkapkan tekanan-tekanan yang saat ini terjadi pada nilai tukar rupiah akan lebih rendah pada  2019.

Dia menjelaskan, optimisme tersebut tidak lepas dari beberapa faktor. Faktor pertama adalah kepastian akan terjadinya normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju.

"Mulai tahun depan sejumlah Bank Sentral lain itu juga mulai merencanakan atau bahkan mulai mengimplementasikan normalisasi kebijakan moneternya, khususnya di paruh kedua tahun depan, Eropa , Jepang atau yang lain sejumlah Bank Sentral negara maju," kata Perry di kantornya, Kamis 27 September 2018.

Hal tersebut dipastikan akan membuat dolar Amerika Serikat (AS) tidak seperkasa pada 2018. Beberapa mata uang lain akan kembali menguat dan menyaingi mata uang negara Paman Sam tersebut.

"Oleh karena itu yang terjadi normalisasi kebijakan moneter nya bukan hanya Amerika Serikat, tetapi juga Bank Sentral lain sehingga ini juga akan mengurangi kekuatan dolar AS. Sekarang dolar AS paling kuat. Tahun depan akan ada saingannya oleh mata uang - mata uang lain," ujar Perry.

Faktor selanjutnya adalah perubahan perilaku investor global. Investor akan mulai menaruh kembali dana yang sempat ditarik dari negara berkembang.

Sebelumnya, investor global menarik dana dari negara-negara emerging market sebagai respons dari ketidakpastian global serta keagresifan The Fed dalam menaikkan suku bunga acuannya.

"Ini saja sudah mulai mereka sedikit-sedikit kembali berinvestasi di emerging market. Mulai tahun depan, itu perilaku yang seperti ini akan semakin kuat dan karena itu juga memberikan faktor positif bagi kembalinya arus modal asing dari global ke emerging market termasuk Indonesia," tutur Perry.

Faktor terakhir adalah faktor domestik atau internal. Diperkirakan pada tahun depan defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD) yang saat ini tengah membengkak akan kembali normal.

"Kami sampaikan tekanan dari neraca pembayaran kan jauh lebih rendah, 2,5 persen terhadap PDB sehingga tentu saja kebutuhan valasnya dalam negeri juga akan lebih rendah. Berbagai faktor ini kenapa waktu itu di DPR kami sampaikan kami perkirakan 2019 itu tekanan terhadap rupiah nya akan lebih rendah," ujar dia.

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

Â