Sukses

Mendag Paparkan Alasan RI Komitmen Beli Kapas dan Kedelai asal AS

Indonesia telah menyatakan komitmen untuk menyerap kedelai dan kapas dari Amerika Serikat (AS). Namun, Mendag Enggartiasto Lukita ajukan syarat.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, mengatakan Indonesia telah menyatakan komitmen untuk menyerap kedelai dan kapas dari Amerika Serikat (AS). Hal ini merupakan bagian dari diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia.

"Kemudian juga sebagai partner yang baik tapi kita serap produk mereka saya dalam bahasa yang lebih sederhana, petani Amerika Serikat, petani kapas mengalami kesulitan penjualan. Kenapa kita tidak segera ambil dan harga lagi jatuh. Kalau terus didiamkan harga akan drop terus," kata dia saat ditemui, di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Kamis (27/9/2018).

"Negara pertama yang datang ke Amerika untuk mengatakan you punya kapas saya ambil, di tengah mereka lagi sulit hanya Indonesia," lanjut dia.

Enggartiasto pun telah meminta AS untuk menyerap produk tekstil Indonesia. AS, kata dia, menanggapi positif permintaan ini.

"Tapi di sisi lain saya bilang you harus serap juga produk kita. Kita impor kapas you impor tekstil dong. Dan mereka lakukan juga yang sama," kata dia.

Dengan demikian, Ia berharap negeri Paman Sam itu akan lebih memprioritaskan untuk menyerap produk tekstil yang diekspor dari Indonesia.

"Be fair dong. You jangan kasih ke negara lain untuk beli tekstil dan garmen-nya. Dan responsnya positif. Mereka bilang pasti. Dan bukan hanya dengan kata-kata kita melakukan mereka juga melakukan," kata dia.

 

2 dari 2 halaman

Bahan Baku Mahal, Produk Tekstil RI Kalah Saing dari Bangladesh

Sebelumnya, sebagai salah satu industri yang diprioritaskan oleh pemerintah, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah membuktikan kontribusi besar yaitu 6,39 persen terhadap PDB pada tahun 2017. Namun demikian, kinerja ini masih banyak menyimpan permasalahan yang dihadapi oleh para produsen tekstil.

Salah satunya adalah harga bahan baku yang tersedia di dalam negeri. Ditemukan bahwa harga bahan baku dalam negeri justru kalah bersaing dengan bahan yang sama dari sumber importasi. Bahan baku tersebut adalah serat polyester sebagai bahan baku benang.

Menurut ketua Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, harga bahan baku polyester di tanah air mencapai 13 persen lebih mahal dari pada harga di luar negeri.

“Kondisi ini mengakibatkan merosotnya daya saing ekspor produk tekstil Indonesia hingga ke hilir,” ungkap Ade dalam keterangan resmi, Rabu 25 Juli 2018.

Lebih lanjut Ade menjelaskan, perbedaan harga yang cukup signifikan ini, menegaskan industri tekstil Indonesia kalah bersaing dengan negara lain seperti Vietnam, Bangladesh, dan sesama negara penerima fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS.

Menurutnya juga, agar kondisi tidak semakin memburuk, maka perlu kerjasama antar produsen, penentu kebijakan untuk mengevaluasi penerapan bea masuk komoditas bahan baku (kasus bea masuk serat polyester) dan pengetatan pengawasan dari kementerian terkait.

“Diharapkan bila kebijakan bea masuk polyester ini dapat ditinjau lagi, maka harga bahan baku yang berdaya saing bisa meningkatkan produktifitas ekspor ITPT Indonesia di pasar dunia,” ungkap dia.

Hal ini juga sejalan dengan target API untuk meningkatkan net ekspor dan nilai tambah yang disumbang oleh industri tekstil sampai akhir tahun 2018 menjadi US$ 4 miliar, lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai nilai US$ 3,5 miliar.

Sementara itu, di tengah-tengah waktu penantian keputusan oleh pihak Amerika Serikat tentang evaluasi fasilitas GSP yang mereka berikan kepada para negara mitra dagang, menyatakan optimisme ITPT bisa menaikan kinerja ekspornya. API memproyeksikan pertumbuhan ekspor tekstil tahun ini dapat mencapai 7 persen.

Namun optimisme ini harus didukung oleh sinergitas antar pihak, seperti rangkaian para produsen dari hulu ke hilir, pendukung ITPT, dan penentu kebijakan. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: