Liputan6.com, Jakarta - Rupiah semakin melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah bahkan sudah melewati angka 15.000 per dolar AS.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal ( BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menegaskan pihaknya akan terus memantau kondisi saat ini. Sebab pelemahan rupiah akan berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kita memonitor rupiah tentu karena ada beberapa konsekuensi, impact terhadap APBN," kata Suahasil saat ditemui di Gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (4/10/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia menjelaskan, dampak pelemahan rupiah terhadap APBN berdampak positif dan negatif. Ketika rupiah melemah, pendapatan jadi meningkat tetapi otomatis pengeluaran pun ikut membengkak.
"Dampaknya terhadap APBN sudah sering disebutkan oleh bu menteri (Sri Mulyani) beberapa kali, yakni setiap rupiah mengalami pelemahan, pendapatan menjadi meningkat, dan pengeluaran juga meningkat, tapi efek selanjutnya adalah pendapatan meningkat lebih tinggi dari pengeluaran," ujar dia.
Kendati demikian, dampak nilai tukar rupiah yang melemah tentu saja tidak hanya kepada APBN. Namun hampir semua sektor ekonomi akan terkena imbasnya.
"Jadi kaitannya dengan anggaran, kita melihat impactnya tapi impactnya adalah manageble, tapi tentu dampak pelemahan Rupiah tidak hanya ke anggaran, tapi ke seluruh ekonomi secara keseluruhan,” kata dia.
Yang paling terdampak, lanjut dia, adalah sektor ekspor impor. Setiap transaksi yang dilakukan menggunakan mata uang dalam bentuk dolar AS.
"Itu ada dampaknya terhadap ekspor, biasanya secara teoritis yang biasa di sebutkan jika rupiah mengalami pelemahan maka ekspor kita akan lebih kompetitif. Tapi di saat yang sama impor juga akan semakin melebar," kata dia.
"Saat impor barang modal semakin melebar maka itu artinya infrastruktur juga semakin meluas, jadi kita melihat dampak itu tapi kita meyakini BI mampu memanage stabilitas rupiah," tambah dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Lanjutkan Pelemahan
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) makin melemah. Bahkan nilai tukar rupiah sentuh posisi 15.100 per dolar AS.
Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah melemah ke posisi 15.120 atau melemah 45 poin pada pembukaan perdagangan Kamis pekan ini. Pada perdagangan kemarin, rupiah ditutup di posisi 15.075 per dolar AS.
Sepanjang Kamis pekan ini, rupiah bergerak di kisaran 15.120-15.187 per dolar AS. Sepanjang tahun berjalan 2018, rupiah sudah melemah 12,04 persen.
Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan rupiah berada di posisi 15.133 per dolar AS atau melemah 45 poin pada 4 Oktober 2018 dari periode perdagangan 3 Oktober 2018 di posisi 15.088 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, menuturkan nilai tukar rupiah merosot cenderung didorong sentimen eksternal terutama kekhawatiran perang dagang. David menuturkan, JP Morgan menyebutkan perang dagang akan berlangsung lama sehingga memicu kekhawatiran pasar. Selain itu, pasokan valuta asing juga belum berimbang dengan permintaan.
"Di pasar modal masih terjadi outflow. Permintaan valas untuk minyak tinggi tetapi pasokan terbatas. Permintaan valas belum berimbang karena pasokan," ujar David saat dihubungi Liputan6.com.
Meski demikian, menurut David pelemahan rupiah masih bertahap sehingga masih bisa diantisipasi pelaku usaha sektor riil. Apalagi tren rupiah melemah terjadi sejak 2012. “Pelemahan rupiah pelan-pelan. Tidak seperti Turki. Pelaku usaha juga tidak ingin penguatan dan pelemahan mata uang terlalu cepat,” ujar David.
David menuturkan, rupiah masih tertekan hingga akhir tahun. Nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran 14.800-15.000 hingga akhir 2018.
Oleh karena itu, David mengharapkan Bank Indonesia dan Pemerintah dapat merespons dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan. BI diperkirakan masih menaikkan suku bunga acuan sekitar 25 basis poin-75 poin hingga akhir 2018. Hal itu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan dan menstabilkan nilai tukar rupiah.
"Defisit transaksi berjalan harus turun karena tantangan tahun depan lebih berat. Kuartal III, defisit transaksi berjalan akan di bawah tiga persen," kata David.
Ia menuturkan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi antara lain perang dagang berlangsung lama, kenaikan suku bunga acuan the Federal Reserve dan harga minyak dunia.
Sedangkan pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif agar pengusaha dapat mengendapkan devisa hasil ekspor di Indonesia.
"Dorong ekspor susah. Namun dana ekspor diharapkan masuk dengan buat insentif menarik agar pengusaha konversikan ke rupiah,” ujar David.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement