Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI, Kardaya Warnika mengaku terkejut atas pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang secara tiba-tiba mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium bersamaan dengan harga BBM nonsubsidi. Sebab, dalam rapat kerja bersama dengan Komisi VII sempat disinggung mengenai kenaikan harga BBM, namun hal itu tidak digubris oleh pihak Kementerian ESDM.
"Kira-kira sebulan lalu rapat kerja terakhir saya menanyakan kepada Menteri ESDM. Kalau seandainya harga minyak dunia naik apa yang akan dilakukan oleh pemerintah apa akan menambahkan subsidi atau akan menaikan harga (BBM) atau sebagainya? (Tapi) sampai rapat itu berakhir tidak dijawab," kata dia dalam diskusi yang digelar di Cikini, Jakarta, Sabtu (13/10/2018).
Advertisement
Baca Juga
Politisi Partai Gerinda itu mengatakan, sebaiknya dalam memutuskan kenaikan BBM perlu melihat dan mempertimbangkan seluruh aspek, salah satunya yakni soal harga. Kemudian juga menyangkut dengan pasokan dan permintaan.
"Kalau daya beli masyarakat saat ini harus dipertimbangkan. Mau bantu rakyat atau siapa?" kata Kardaya.
Untuk diketahui, Menteri ESDM Ignasius Jonan sempat mengumumkan kenaikan harga Premium bersamaan dengan harga BBM non subsidi lainnya pada 10 Oktober 2018. Namun, tak berapa lama pemerintah membatalkannya. Hal tersebut setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengintruksikan agar kenaikan ini ditunda.
Â
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Koordinasi Tak Jalan Pengaruhi Minat Investor
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal menyebut ada koordinasi yang buruk di pemerintahan terkait rencana kenaikan harga Premium akan sangat mempengaruhi minat investasi.Â
"Kalau saya melihat pertama, ini adalah sebuah tanda koordinasi yang buruk antar kementerian. Seharusnya memang ketika kebijakan dikeluarkan namanya itu sudah menjadi produk keputusan bersama. Nah ini kita melihat ada miskoordinasi," kata Fithra.
Buruknya koordinasi antara pemerintah menimbulkan sinyal buruk. Sebab, ini dikhawatirkan akan berdampak bagi investor, baik dalam negeri maupun investor asing.
"Sinyal buruk bagi investor karena ini adalah sebuah sinyal ketidakpastian bagi para investor untuk masuk ke Indonesia," kata Fithra.
Padahal, kata dia, momentum pelaksanaan IMF-Wolrd Bank 2018 yang digelar di Nusa Dua, Bali sudah menunjukan betapa baiknya koordinasi pemerintah dalam mempersiapkan pertemuan Internasional tersebut. Namun kejadian ini, secara tidak langsung berdampak pada kepercayaan investor.
"Betapa baiknya pemerintah sebagai penyelenggara acara (IMF) tapi kemudian ada noda, nodanya ya tadi miskoordinasi sehingga pada akhirnya orang juga akan melihat bagaimana caranya kita bisa masuk investasi ke indonesia kalau memang koordinasi antar kementerian saja buruk," sebutnya.
Advertisement
Harus Naik
Fahmy melanjutkan, keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membatalkan rencana kenaikan Premium sudah tepat. Sebab, apabila ini dbiarkan naik secara otomatis maka akan memberatkan masyarakat menegah ke bawah.
"(Kalau naik) ini akan berpengaruh langsung dalam daya beli rakyat, ini akan berpengaruh kepada inflasi dan rakyat kecil, karena harga-harga akan naik. Yang kemudian pemerintah membatalkan tidak jadi naik sebagai indikasi bahwa Jokowi lebih mementingkan rakyat kecil daripada Pertamina," kata dia.
Meski diakui sudah tepat, namun dirinya menyarankan agar pemerintah tidak terus menahan harga Premium. Paling tidak hingga 2019 mendatang, pemerintah sudah mempunyai keputusan untuk menaikan harga Premium. Dengan kata lain, mempertimbangkan juga harga minyak dunia yang terus merangkak naik.
"Tidak bisa selamanya tidak dinaikkan. Apa yang jadi batas? Yang jadi batas adalah harga minyak dunia kalau sekarang masih USD 83 saya kira Pertamina masih mampulah untuk menahan tadi. Tapi kalau harga minyak udah 100 USD maka bebannya akan berat sekali," jelasnya.
Fahmy Menambahkan saat kenaikan harga minyak dunia mencapai USD 100 per barel secara dampak maka akan memberatkan keuangan Pertamina dan akan menjadi beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dengan ditambah naiknya harga solar.
"Karena pemerintah akan menambah untuk subsidi solar gitu ya dalam jumlah yang besar. Saya setuju ini tidak dinaikkan tapi ada batasnya. Sampai cut offnya itu USD 100 mau tidak mau ya harus naik," lanjutnya.
Reporter:Â Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com