Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya meningkatkan pemahaman para aparatur pemerintah Indonesia terhadap aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal ini guna menghindari ada benturan antara kebijakan yang diterbitkan pemerintah dengan aturan WTO.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Iman Pambagyo, mengatakan kebijakan nasional telah beberapa kali diprotes karena dianggap berbenturan dengan komitmen internasional Indonesia sejak bergabung dengan WTO pada 1995. Hal ini membuat Indonesia tak jarang harus menuruti kehendak WTO.
"Peningkatan pemahaman aparatur negara sangat penting. Dengan pemahaman yang baik maka Pemerintah Indonesia dapat mengamankan kebijakan nasional dan sekaligus sejalan dengan ‎aturan WTO," ujar dia di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
Advertisement
Baca Juga
Namun demikian, lanjut Imam, bukan berarti Pemerintah Indonesia kehilangan pijakan mengatur pembangunan nasional akibat munculnya protes dari negara-negara lain yang sama-sama tergabung dalam WTO.
"Pemerintah berkomitmen mengamankan kebijakan nasional agar pembangunan terus berjalan, sektor-sektor industri nasional diberi akses untuk tumbuh berkembang, dan seluruh pelosok nusantara harus dimajukan bersama," ungkap dia.Â
Dia mencontohkan, kebijakan nasional yang berbenturan dengan komitmen internasional Indonesia yaitu keputusan Hakim Badan Banding WTO pada November 2017 atas kebijakan impor produk hortikultura dan hewan dan produk hewan Indonesia yang digugat Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru.Â
"Kasus hortikulutura kita dengan AS dan Selandia Baru harus kita jadikan pelajaran berharga agar ke depannya, perumusan kebijakan pemerintah tidak melanggar dan juga dapat sejalan dengan komitmen internasional, sehingga kita tidak digugat negara lain," ujar dia.
Â
Mendag Pastikan RI Tak Kena Tegur WTO soal Pajak Impor Komoditas
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memastikan Indonesia tidak akan mendapat teguran dari World Trade Organization (WTO) terkait dengan kebijakan kenaikan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 menjadi 10 persen terhadap 1.147 barang konsumsi yang diimpor.
Bahkan, kebijakan ini diyakini tidak akan berpengaruh pada penilaian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) atau kebijakan perdagangan yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor suatu negara penerima yang diberikan oleh negara maju untuk membantu negara berkembang.
"Tidak usah dikhawatirkan. Ini PPh Pasal 22 tidak melanggar WTO dan bisa dikreditkan dan yang kita persoalkan jenisnya. Kita juga berharap masih tetap dapat fasilitas GSP. Sebab, kita sudah dapat pengecualian untuk besi dan baja, juga relaksasi ekspor strategis untuk CPO dan rotan setengah jadi," jelas Enggartiasto di Kementerian Keuangan Jakarta, Rabu, 5 September 2018.
Salah satu pertimbangan pemerintah merevisi tarif PPh 22 untuk barang impor, yakni untuk mengendalikan defisit. Data Kementerian Keuangan menunjukkan nilai impor 1.147 barang impor tersebut pada 2017 mencapai USD 6,6 miliar.
Sementara, sampai pertengahan 2018 nilainya sudah mendekati capaian 2017, yakni mencapai USD 5 miliar. Besarnya impor ini turut berpengaruh pada defisit neraca transaksi berjalan mencapai USD 13,5 miliar pada semester I 2018.
Untuk meningkatkan kinerja ekspor, Enggar pun menyatakan Kementerian Perdagangan siap melakukan percepatan kerja sama perdagangan pasar dengan Australia melalui Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) pada November nanti. Ini sebagai salah satu upaya menambah devisa agar angka defisit bisa menurun.
"Dengan itu pengusaha bersiap meningkatkan ekspor tekstil ke Australia. Kami juga tengah menyelesaikan perjanjian perdagangan dengan Tunisia, Maroko, dan Mozambik," pungkas Enggartiasto.
Â
 Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement