Sukses

Kondisi Makro Ekonomi Terjaga Baik dalam 4 Tahun, Ini Rinciannya

Indikator makroekonomi Indonesia terjaga dan terus menunjukkan peningkatan ke arah yang lebih baik dalam empat tahun masa pimpinan Jokowi-JK.

Liputan6.com, Jakarta - Indikator makroekonomi Indonesia terjaga dan terus menunjukkan peningkatan ke arah yang lebih baik dalam empat tahun terakhir di masa pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) atau Jokowi-JK.

Meski Indonesia menghadapi ketidakpastian global. Contohnya, pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh stabil pada kisaran 5 persen dan terus meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. 

Pada 2014, ekonomi Indonesia tumbuh 5,02 persen, kemudian anjlok ke angka 4,88 persen di 2015. Namun pada mulai 2016 kembali naik menjadi 5,03 persen, di 2017 sebesar 5,07 persen dan semester I 2018 sebesar 5,17 persen.

"Secara keseluruhan kinerja baik. Pertahankan stabilitas pertumbuhan di lima persen. Banyak kebijkana sudah dirasakan masyarakat seperti konektivitas dengan masif pembangunan infrastruktur sehingga menurunkan biaya logistik," ujar Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, saat dihubungi Liputan6.com, seperti ditulis Senin (22/10/2018).

Untuk inflasi, juga relatif terjaga. Bahkan untuk 2018 relatif lebih baik dari target APBN 2018 yang sebesar 3,5 persen. Pada 2014, inflasi sempat mencapai 8,36 persen.

Namun pada 2015 turun menjadi 3,35 persen, 2016 sebesar 3,02 persen, 2017 sebesar 3,61 persen dan hingga September 2018 sebesar 2,88 persen. "Kinerja dari sisi inflasi terkendali dalam beberapa tahun di kisaran 3 persen-3,5 persen," ujar Josua.

Untuk defisit APBN juga cenderung terkontrol. Dengan APBN yang ekspansif, defisit APBN terjaga di bawah 3 persen dari PDB. Pada 2014, defisit APBN sebesar -2,34 persen, 2015 sebesar -2,59 persen, 2016 sebesar -2,49 persen, 2017 sebesar -2,57 persen dan di 2018 hingga Agustus sebesar -1,01 persen.

Keseimbangan primer APBN juga tercatat terus menurun. Kemandirian pada sumber pembiayaan domestik semakin baik. Pada 2014, tercatat -0,92 persen, 2015 sebesar -1,23 persen, 2016 sebesar -1,01 persen, 2017 sebesar -0,92 persen dan proyeksi 2018 sebesar 0,44 persen.

Defisit neraca transaksi berjalan juga tercatat terus terjaga di bawah 3 persen dari PDB dalam empat tahun pimpinan Jokowi-JK. Pada 2014 sebesar -3,1 persen, 2015 sebesar -2,1 persen, 2016 sebesar -1,8 persen, 2017 sebesar -1,7 persen dan hingga semester I 2018 sebesar -2,6 persen.

 

 

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Untuk cadangan devisa dinilai cukup untuk membiayai impor dan membayar utang luar negeri pemerintah selama 6,3 bulan atau 2 kali lipat di atas standar nasional. Pada 2014 cadangan devisa tercatat USD 111,86 miliar, 2015 sebesar USD 105,93 miliar, 2016 sebesar USD 116,36 miliar, 2017 sebesar USD 130,2 miliar dan hingga September 2018 sebesar USD 114,85 miliar.

Penerimaan Perpajakan sebagai sumber pembiayaan APBN yang paling utama menunjukkan tren meningkat meski kondisi ekonomi Indonesia dihadapkan dengan tekanan eksternal. Bukti ada perbaikan efektivitas pemungutan pajak oleh Pemerintah.

Pada 2014, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp 1.147 triliun, 2015 sebesar Rp 1.240 triliun, 2016 sebesar Rp 1.285 triliun, 2017 sebesar Rp 1.343 triliun dan hingga September 2018 sebesar Rp 1.024 triliun.

Dari sisi utang pemerintah mampu dikelola dengan hati-hati dan dialokasikan untuk mendukung peningkatan ‎belanja produktif. Rasio utang terhadap PDB dijaga di bawah batas psikologis 30 persen PDB, dan berada jauh di bawah amanat Undang-undang Keuangan Negara maksimal sebesar 60 persen PDB.

Secara porsi, utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi rupiah sebesar 52,44 persen, pinjaman sebesar 24,09 persen dan SBN berdenominasi valas sebesar 18,47 persen.

Sedangkan rasio utang pemerintah terhadap PDB yaitu pada 2014 sebesar 24,78 persen, 2015 sebesar 27,43 persen, 2016 sebesar 28,33 persen, 2017 sebesar 28,98 persen dan hingga Juli 2018 sebesar 29,74 persen.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: