Liputan6.com, Jakarta - Santunan atau kompensasi ketika terjadi kecelakaan pesawat bukanlah perkara sederhana. Pasalnya, tidak semua negara memberikan kepastian santunan tinggi untuk keluarga korban.
Amerika Serikat (AS) merupakan negara yang paling pro-keluarga korban. Menurut Time, AS memiliki hukum santunan paling tinggi secara rata-rata, yakni USD 4,5 juta atau setara Rp 68,5 miliar (USD 1 = Rp 15.224). Masih dari sumber yang sama, rata-rata santunan untuk korban kecelakaan pesawat di Tiongkok diperkirakan mencapai USD 500 ribu (Rp 7,6 miliar).
Advertisement
Baca Juga
Santunan di Eropa juga masih lebih rendah dari AS. Setelah tragedi pesawat Germanwings Flight 9525 pada 24 Maret 2015, keluarga penumpang sempat dikabarkan marah karena santunan awal dari maskapai sangat rendah, yaitu 50 ribu euro atau Rp 865 juta (1 euro = Rp 17.313).
Akhirnya, menurut Optimalinsure.com, terdapat variasi atas pembayaran santunan Germanwings. Jumlah minimum santunan 95 ribu euro (Rp 1,6 miliar) sampai lebih dari 1 juta euro (Rp 17,3 miliar). Menurut Reuters, variasi santunan di Jerman memperhitungkan faktor seperti pendapatan.
Lebih lanjut, ketika pesawat Saratov Airline Flight 703 asal Rusia terjatuh pada 11 Februari 2018 dan menewaskan 71 orang, Rusia memberikan kompensasi sebesar USD 50 ribu (Rp 761 juta). Meski begitu, masih ada kemungkinan terdapat santunan lain.
Santunan di Pakistan relatif lebih kecil. Ketika pesawat Pakistan PK 661 jatuh pada 7 Desember 2016, Pakistan International Airlines Flight memberi santunan awal 500 ribu rupee Pakistan (Rp 57 juta). Setelahnya, keluarga korban diberikan 5 juta rupee Pakistan (Rp 571 juta).
Untuk di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, pihak maskapai diwajibkan membayar santunan Rp 1,5 miliar per penumpang yang meninggal. Angka itu nantinya ditambah dengan santunan BPJS Ketenagakerjaan dan Jasa Raharja.
Pesawat Jatuh, Kemenhub Audit Lion Air
Kementerian Perhubungan mengeluarkan perintah audit terhadap PT Lion Mentari Airlines pasca insiden jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 rute Cengkareng-Pangkal Pinang yang jatuh di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat pada Senin, 29 Oktober 2018.
Perintah audit itu tertuang dalam surat penugasan kepada Inspektur Special Audit yang tertanggal 29 Oktober 2018. Surat ini ditandatangani oleh Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub Capt Avirianto.
"Berdasarkan kejadian kecelakaan pesawat B 737- 8 Max registrasi PK - LQP yang dioperasikan oleh PT Lion Mentari Airlines tanggal 29 Oktober 2018, bersama ini disampaikan bahwa Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara akan melaksanakan special audit terhadap AOC 121 - 010 milik PT Lion Mentari Airlines dan AMO 145D-914 milik PT Batam Aero Technic," tulis surat tersebut.
AOC (Air Operator Certificate) 121 adalah sertifikat izin terbang yang diberikan kepada maskapai maskapai yang mengoperasikan pesawat berkapasitas di atas 30 tempat duduk.
Sedangkan Approval Maintenance Organization (AMO) 145 adalah sertifikat persetujuan pengoperasian perusahaan maintenance pesawat.
Dalam surat perintah audit tersebut, Kemenhub setidaknya akan mengirimkan lima orang auditornya untuk melaksanakan tugas tersebut.
Â
Advertisement