Liputan6.com, Jakarta Pemerintah masih belum memutuskan kenaikan tarif cukai rokok untuk 2019. Namun, besaran kenaikan tarif diperkirakan tidak akan melebihi 10 persen.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktor Jenderal Bea Cukai (DJBC), Nugroho Wahyu Widodo mengatakan, hingga saat ini belum ada keputusan terkait besaran kenaikan tarif cukai rokok. Keputusan rencananya baru akan diumumkan pada 12 November 2018.
Advertisement
Baca Juga
"Belum ada keputusan sampai pagi hari ini. Tenggat waktu sudah kami sepakati tanggal 12 November. Semoga bisa lebih cepat dari itu," ujar dia di Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Namun demikian, lanjut Nugroho, kemungkinan kenaikan cukai untuk 2019 tidak akan lebih lagi 10 persen. Hal ini mempertimbangkan kondisi industri hasil tembakau (IHT) saat ini.
"(Kenaikan di bawah 10 persen?) Hampir pasti. (Kondisi industri) Sudah kami perhatikan khususnya yang menyerap tenaga kerja banyak. Pemerintah masih concern masalah itu," ungkap dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menyatakan, penyerapan tembakau petani oleh pabrikan terus turun. Salah satu penyebab kenaikan tarif cukai setiap tahun.
Berdasarkan data APTI, produk olahan tembakau yang dikenakan cukai dengan kenaikan di atas 10 persen akan menurunkan penyerapan tembakau lebih dari 2 persen dari produksi nasional atau setara dengan 4.000 hektare (ha) lahan tembakau.
"Berdasarkan pengalaman 4 tahun terakhir rata-rata kenaikan cukai yang 12 persen telah menurunkan penyerapan tembakau 3,5 persen dari produksi nasional, ada lebih dari 10 ribu ha tanaman tembakau yang tidak bisa diserap oleh pabrik," jelas dia.‎
Padahal berdasarkan penelitian pada 2013, lanjut Soeseno,‎ untuk luas lahan yang sama per 1 ha, penerimaan tembakau mencapai Rp 53.282.874.
Angka ini lebih tinggi dibanding penerimaan dari pertanian jenis lain, seperti padi sebesar Rp 13.235.778, jagung Rp 4.607.162, cabai Rp 9.429.971, dan bawang merah Rp 7.537.791.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Lombok Timur, Madura, Jember, Temanggung. Sedangkan data untuk cengkeh diambil dari wilayah Pacitan, Sukabumi, Minahasa, dan Buleleng.
"Dari hasil penelitian tersebut, bisa dilihat fakta menarik, bahwa komoditas tembakau dan cengkeh lebih menguntungkan dibandingkan komoditas lainnya," tandas dia.
Â
DPR Minta Kemenkeu Lanjutkan Penyederhanaan Tarif Cukai Rokok
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk terus menjalankan kebijakan penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai rokok hingga 2021.Â
Anggota Komisi XI DPR, Amir Uskara mengatakan, selama ini, pabrikan-pabrikan rokok asing kerap memanfaatkan celah aturan cukai sehingga bisa membayar tarif cukai rokok lebih rendah. Namun dengan kebijakan ini diharapkan celah tersebut bisa dihilangkan.
"PMK 146/2017 ini sebenarnya ada dengan tujuan menutup celah-celah agar praktik penghindaran pajak dari pabrikan asing besar bisa dihentikan. Contohnya dengan penggabungan batas produksi untuk SKM dan SPM di 2019," ujar dia di Jakarta, Rabu (31/10/2018).
Baca Juga
Amir juga meminta pemerintah konsisten melaksanakan kebijakan yang sudah dikeluarkan.
Jika kebijakan simplifikasi ini sampai dihentikan, justru dikhawatirkan akan menciptakan kegaduhan di industri hasil tembakau (IHT) itu sendiri.
"Hal ini agar persaingan di industri lebih adil, di mana yang kecil terlindungi dari pabrikan besar bermain di golongan bawah. Selain itu, penerimaan cukai pemerintah juga akan lebih optimal," ungkap dia.
Sementara itu, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), Heri Susianto menyatakan, kebijakan simplifikasi tidak boleh berhenti di tengah jalan.Â
Dia menilai kebijakan simplifikasi tidak akan mematikan industri hasil tembakau kecil. Hal ini berdasarkan pada Bab II Pasal 3 tentang kumulasi jumlah produksi sigaret putih mesin (SPM) dengan sigaret kretek mesin (SKM), yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.‎
"PMK Nomor 146/2017 itu sudah tepat bagi keberlangsungan usaha IHT kecil," kata dia.
Menurut Heri, perusahaan rokok yang bersikukuh menolak kumulasi SPM dengan SKM sebenarnya melakukan praktik yang tidak tepat, karena sebenarnya tergolong perusahaan rokok besar.
Hal ini tentu bukan hanya merugikan pemerintah dari sisi penerimaan cukai, tetapi juga tidak adil bagi pabrikan rokok skala kecil.
"Jika tidak diakumulasikan antara produksi SKM dan SPM justru menjadi pertanyaan dari aspek keadilan, berarti perusahaan rokok besar menikmati tarif yang lebih murah karena SPM yang mereka produksi masuk golongan II," ujar dia.
Â
Advertisement