Liputan6.com, Jakarta - Direktur Operasional Lion Air, Capt Daniel Putut angkat suara mengenai besaran gaji pilot Lion Air yang dilaporkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan hanya mencapai Rp 3,7 juta per bulan.
Lion Air menyebut bahwa informasi tersebut tidaklah benar. "Ya saya tanya ada yang mau enggak pilot digaji segitu? seperti itu?" katanya saat ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang, Minggu (4/11).
Advertisement
Baca Juga
Daniel mengatakan apabila data yang dilaporkan memang jumlahnya demikian, pihaknya pun pasti akan menolaknya. Apalagi untuk besaran gaji pilot Lion Air yang setiap bulannya, Daniel mengaku memiliki daftarnya sendiri.
"(Sebetulnya tidak segitu?) Iya enggak segitu," kata Daniel.
Sementara itu, saat disinggung mengenai besaran gaji yang diperkirakaan mencapai ratusan juta dirinya pun tidak menjawab. "No comment," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, Agus Susanto membeberkan jumlah dana yang didapat pegawai Lion Air, korban jatuhnya pesawat berseri JT 610 di Perairan Karawang.
Nyatanya, ada dugaan tidak keseluruhannya mendapatkan asuransi yang sesuai. Hal itu diketahui saat membandingkan besaran gaji antara pilot dan co-pilot.
"Sebesar Rp 3,7 juta, pilot. Co-pilotnya Rp 20 juta," tutur Agus di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (31/10/2018).
Â
Laporan dari Lion Air
Menurut Agus, BPJS Ketenagakerjaan menerima nominal tersebut dari pihak Lion Air langsung. Termasuk catatan gaji pramugari sebesar Rp 3,6 juta sampai dengan Rp 3,9 juta.
"Tentunya kita bertanya, kenapa sih masa gaji nya segitu. Demikian dasar untuk memberikan manfaat (dana) itu berdasarkan upah yang dilaporkan itu," jelas dia.
BPJS Ketenagakerjaan sendiri memberikan dana kepada pegawai yang menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air sebesar gaji yang dilaporkan dikalikan 48. Dengan kalkulasi itu, si pilot hanya mendapatkan sekitar Rp 177 juta.
"Jadi kalau gajinya Rp 30 juta hanya dilaporkan Rp 3 juta, artinya si karyawan ini dirugikan. Seharusnya menerima 48 dikali Rp 30 juta. Ternyata hanya menerima 48 dikali Rp 3 juta," lanjut Agus.
Ada sejumlah perusahaan yang disinyalir melakukan praktik serupa. Alasannya diduga karena perusahaan menganggap pembayaran premi sebagai beban keuangan. Setiap besaran gaji karyawan, perusahaan harus mengeluarkan sebesar 5,7 persen dari upah tersebut per bulan ke BPJS Ketenagakerjaan.
"Yang membayar premi perusahaan. Jadi kan perusahaan bayar preminya tiap bulan. Kalau laporannya gede, kan yang dibayarkan ke BPJS juga besar. Tapi sebenarnya itu hak karyawan. Misalnya gajinya Rp 100 juta, terus yang dilaporkan hanya Rp 3 juta. Tapi kehilangan 5,7 persen dikali Rp 97 juta setiap bulan itu hilang," tandasnya.
Advertisement