Liputan6.com, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyebutkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat ke level di bawah 15.000 pada pekan lalu hanya akan berlangsung sesaat.
Dia memprediksi, kurs rupiah bisa kembali menyentuh angka 15.150 pada pekan ini. "Penguatan kemarin diperkirakan tidak berlangsung lama. Rupiah pekan ini diproyeksi bergerak di kisaran 14.920-15.150," sebut dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin (5/11/2018).
Adapun rupiah sepanjang Jumat, 2 November 2018 kemarin sempat bergerak di posisi 14.955 per dolar AS. Itu menandakan bahwa rupiah sudah melemah sekitar 10,33 persen sepanjang tahun berjalan 2018.
Advertisement
Baca Juga
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan, salah satu pemicu bangkitnya nilai tukar rupiah yakni ada kemajuan dalam perundingan perdagangan antara AS dengan China yang direspons positif oleh para pelaku pasar keuangan.
"Perundingan Amerika-China ada kemajuan. Belum selesai, tapi ada kemajuan mengenai trade war (perang dagang)," ujar Mirza.
Namun begitu, Bhima menyatakan, rupiah bisa kembali melemah lantaran sentimen perang dagang bisa berbalik memanas. Dia merujuk ucapan analis keuangan yang juga Direktur National Economic Council, Larry Kudlow, yang menolak pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa saat ini Negeri Paman Sam tengah menyiapkan draft trade deal dengan China.
"Rilis data tenaga kerja AS cukup menguatkan sentimen kenaikan Fed rate akhir tahun ini. Nonfarm payroll meningkat 250 ribu orang pada bulan Oktober dan upah rata-rata naik 0,2 persen," paparnya.
Â
Sentimen dalam negeri
Selain itu, ia menambahkan, dari dalam negeri pelaku pasar turut mencermati rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 yang diperkirakan mencapai 5,05 persen, atau lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II sebesar 5,27 persen.
Menurutnya, penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya konsumsi rumah tangga pasca Lebaran, industri manufaktur yang tertekan kenaikan biaya bahan baku, serta pelemahan kurs rupiah.
"Kinerja ekspor dan investasi belum terlalu pulih. Di sisi yang lain, andalan pertumbuhan adalah belanja pemerintah melalui bansos, meskipun kontribusinya hanya 9-10 persen dari PDB," tutur Bhima.
Advertisement