Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia akan menagih komitmen Malaysia untuk segera menerapkan kebijakan biodisel 20 persen (B20) di negaranya. Ini akan disampaikan dalam rapat tahunan Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) yang akan digelar di Malaysia.
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan, berdasarkan kesepakatan, pemerintah Malaysia menyanggupi untuk menerapkan dan melaksanakan kebijakan B20 tersebut. Namun kenyataannya, hingga kini penyerapan minyak sawit Malaysia belum mencapai 10 persen.
Advertisement
Baca Juga
"Padahal dalam perjanjiannya, mereka 10 persen itu sudah diamanatkan di 2018 ini, sehingga tentu tahun depan kita push lagi, kapan mereka ikut Indonesia di B20," kata Airlangga saat ditemui di Kementerian Perekonomian, Jakarta, Senin (5/11/2018).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menambahkan, pihaknya juga akan menekan pemerintah Malaysia untuk menerapkan B20.
"Nanti di CPOPC kita hanya akan mempertanyakan yang pokok itu arahan nanti di tingkat itu adalah kapan sih Malaysia mau (menerapkan) B20," jelas Oke.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun mengatakan, dalam pertemuan CPO PC Indonesia akan menunjukkan tren positif dari penerapan B20 yang telah dijalani, sehingga Malaysia dapat mencontoh dan diharapkan akan menerapkan B20 di negaranya.
"Upaya peningkatan biodiesel Malaysia akan dibicarakan, kita akan menyampaikan kemajuan B20 di Indonesia," jelas dia.
Â
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Pemakaian Biodiesel 20 Persen, Impor Solar Berkurang
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) menyatakan, penggunaan 20 persen biodiesel ‎dicampur solar (B20) meningkat. Hal ini menunjukkan pelasanaan program semakin maksimal.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, mengatakan realisasi penyerapan 20 persen biodiesel hingga akhir Oktober sebesar 95 persen, jauh lebih besar ketimbang penyerapan September 2018 hanya sebesar 85 persen.
"Itu per bulan ukurannya. September 85 persen. Kira-kira akhir Oktober 95 persen-lah,"‎ kata Djoko, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (5/11/2018).
Djoko menuturkan, dengan meningkatnya pencampuran 20 persen minyak sawit dengan solar, membuat impor solar Indonesia menurun. Namun, ketika ditanyakan seberapa banyak penurunan impor solarnya, dia belum bisa menyebutkan.
Baca Juga
‎"Belum dihitung. Ada tadi angkanya, tapi saya lupa, sebutin persennya saja, otomatis kalau  terserap, kan, impornya juga berkurang," tutur dia.
‎Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, ‎realisasi penyerapan biodiesel sampai kuartal III 2018 sudah mencapai 2,53 juta kilo liter (Kl) dari target tahun ini sebesar 3,92 juta KL. "Sampai Oktober 2018 2,53 juta KL kurang lebih 60 persen‎," tutur Rida.
Rida mengakui, pelaksanaan pencampuran 20 persen biodiesel dengan solar (B20) belum optimal, sebab masih terkendala logistik. Sementara untuk pasokan biodiesel yang dicampur solar cukup memenuhi kebutuhan.
"Kami mengakui B20 belum optimal, tapi lebih baik, karena dari logistik. Sementara sisi produksi mencukupi," ujar dia.
Seperti diketahui, Badan Pusat Stastisik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan September 2018 surplus USD 227 juta. Sementara itu, impor migas pada September 2018 turun USD 0,77 miliar atau sekitar 25 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Pada September, impor migas tercatat USD 2,28 miliar dari sebelumnya USD 3,05 miliar pada Agustus 2018.
"Nilai impor September 2018 mencapai USD 14,60 miliar, turun sebesar 13,18 persen dibanding Agustus 2018. Secara yoy mengalami peningkatan 14,18 persen. Kalau kita pisahkan migas dan nonmigas, keduanya mengalami penurunan pada September. Untuk yang migas mengalami penurunan 25,20 persen dari USD 3,05 miliar menjadi USD 2,28 miliar," ujarnya di Kantor BPS, Jakarta, Senin 15 Oktober 2018.
Yunita mengatakan, untuk sektor migas selain penurunan nilai juga terjadi penurunan volume sebesar 26,71 persen.
Masing-masing minyak mentah, minyak hasil dan gas mengalami penurunan volume sebesar 30,01 persen, 26 persen dan 18,60 persen.
"Minyak mentah itu turun 31,90 persen. Volumenya juga turun 30,01 persen. Nilai hasil minyak turun juga 23,06 persen. Sedangkan volumenya turun 26 persen. Nilai gas turun 14,30 persen, volumenya 18,60 persen. Jadi ada pengaruh kenaikan rata-rata harga agregat," jelasnya.
Sementara itu, impor menurut penggunaan barang konsumsi pada September 2018 ini dibandingkan dengan Agustus 2018 atau month to month (mtm) juga mengalami penurunan 14,97 persen. Konsumsi pada September 2018 sebesar USD 1,32 miliar.
"Penurunan terbesar itu untuk beras dari Tiongkok dan Pakistan, kedua untuk frozen buffalo and beef dari India juga mengalami penurunan. Untuk AC Thailand mesin juga mengalami penurunan, fresh grapes dari Tiongkok juga mengalami penurunan, dan whole milk powder dari New Zealand," jelas dia.
"Untuk bahan baku penolong, secara mtm juga mengalami penurunan 13,53 persen yaitu sebesar USD 10,92 miliar. Yang mengalami penurunan terbesar antara lain emas dari Jepang dan Hongkong, soybean milk dari Argentina, mainboard dari Tiongkok, raw sugar dari Thailand juga turun," ujar dia.
Â
Â
Â
Advertisement