Liputan6.com, Jakarta Rupiah dibuka menguat pada level 14.945 per Dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa (6/11/2018) pagi ini. Rupiah menguat tipis dibanding penutupan perdagangan kemarin di 14.976 per Dolar AS.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo menyebutkan penguatan atau apresiasi nilai tukar Rupiah tersebut merupakan salah satu dampak positif dari pertemuan Presiden Amerika Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping.
Advertisement
Baca Juga
"Artinya rupiah stabil kalau dilihat dari regional juga demikian. Semua berharap positif terhadap pertemuan antara Presiden Trump dengan Xi Jinping untuk memberikan paling tidak solusi yang positif, sehingga dampaknya juga positif kepada emerging currency, Rupiah pun mengalami penguatan," kata Dody di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (6/11/2018).
Penguatan rupiah tersebut juga pastinya karena ada sisi positif dari indikator domestik ke arah yang membaik, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen.
"Meski 5,17 persen pertumbuhan di kuartal III 2018 lebih rendah dari 5,27 persen di kuartal II 2018, tapi sebenarnya itu masih cukup tinggi karena dorongan dari domestik demand, investasi dan konsumsi juga masih besar," ujar dia.
Dia menjelaskan kondisi tersebut menandakan ekonomi Indonesia masih tumbuh, dan data credit financing juga sudah mulai terlihat meningkat.
"Artinya roda ekonomi bergerak. Sentimen terhadap keyakinan konsumen dan produsen itu positif untuk perekonomian kuartal III 2018. Mungkin nanti di kuartal IV 2018 juga. Jadi semua memberikan gambaran dan dukungan kepada Rupiah untuk saat ini bisa di bawah Rp 15.000 per dolar AS," dia menandaskan.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Penguatan Rupiah Diprediksi Hanya Berlaku Jangka Pendek
Nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) tercatat menguat pada hari ini. Penguatan mata uang Garuda berada pada nominal Rp 14.975 per Dolar AS.
Meski demikian, ekonom menilai jika penguatan mata uang rupiah tersebut hanya bersifat jangka pendek. Salah satu sentimen yang akan membawa rupiah kembali tersungkur ialah kondisi global.
"Penguatan rupiah saat ini, saya yakini tidak akan jangka panjang. Penguatan sekarang lebih karena adanya beberapa data ekonomi domestik yang positif di saat tidak adanya tekanan baru dari global," tutur Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Piter Abdullah kepada Liputan6.com, Senin (5/11/2018).
Baca Juga
Piter menambahkan, rupiah berpotensi melemah kembali pada akhir bulan November ini. "Jadi penguatan terjadi ketika tidak ada tekanan global baru. Saya perkirakan akhir bulan November ini rupiah akan kembali mengalami tekanan pelemahan," kata dia.
Momentum penguatan ini harus dimanfaatkan secara optimal oleh Bank Indonesia (BI). Itu guna menjaga nilai tukar rupiah tetap berada pada posisi 15.000 per Dolar AS hingga akhir tahun ini.
Sementara itu, ekonom Insitute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengungkapkan, perang dagang dan potensi kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS The Fed pada akhir tahun berpeluang besar menggiring rupiah untuk kembali terdepresiasi.
"Sentimen perang dagang bisa berbalik memanas di mana Trump saat ini tengah menyiapkan draft trade deal dengan China. Sementara dari dalam negeri pelaku pasar mencermati rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 sebesar 5,17 persen lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II sebesar 5,27 persen," terang Bhima.
Adapun penurunan pertumbuhan ekonomi ini, kata Bhima, disebabkan rendahnya konsumsi rumah tangga paska Lebaran, industri manufaktur yang tertekan kenaikan biaya bahan baku dan pelemahan kurs rupiah.
"Dengan ini, menanggapi rilis data pertumbuhan ekonomi, investor rentan melakukan penjualan bersih atau net sales. Rupiah pekan ini diproyeksi bergerak dikisaran Rp 14.920-15.150," pungkasnya.
Â
Â
Advertisement