Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu melanjutkan penguatan pada perdagangan Selasa pekan ini. Bahkan memimpin penguatan di Asia.
Mengutip data Bloomberg, rupiah menguat 1,22 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke posisi 14.794 pada pukul 14.49 WIB dari penutupan kemarin di posisi 14.976 per dolar AS.
Pada pembukaan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat 0,19 persen ke posisi 14.947. Sepanjang Selasa pekan ini, rupiah berada di kisaran 14.790-14.947 per dolar AS. Hingga tahun berjalan 2018, rupiah sudah melemah 9,14 persen terhadap dolar AS.
Advertisement
Baca Juga
Berdasarkan data kurs referensi Jakarta interbank spot dollar rate (Jisdor), rupiah menguat 81 poin dari posisi 14.972 per dolar AS pada 5 November 2018 menjadi 14.891 per dolar AS pada 6 November 2018.
Melihat data Bloomberg, rupiah memimpin penguatan terhadap dolar AS di Asia. Sebagian besar mata uang di Asia menguat terhadap dolar AS kecuali mata uang ringgit Malaysia dan baht Thailand.
Mata uang China yuan menguat 0,10 persen terhadap dolar AS, kemudian, mata uang peso Filipina menguat 0,35 persen terhadap dolar AS, dan rupee India menguat 0,20 persen terhadap dolar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede menuturkan, sentimen global dan domestik mendukung penguatan rupiah terhadap dolar AS.
Dari eksternal, indeks dolar AS cenderung melemah. Hal ini mengingat peluang pembicaraan mengenai perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China belum ada titik temu.
"Pelaku pasar cenderung menjual dolar AS sehingga berdampak terhadap mata uang negara berkembang," kata dia.
Ia menambahkan, bila AS dan China mencatatkan perkembangan pembicaraan soal sektor perdagangan juga akan membuat rupiah kembali lanjutkan penguatan. “Namun bila tidak ada negosiasi, rupiah bisa melemah lagi,” kata dia.
Sedangkan dari internal, menurut Josua pelaku pasar mengapresiasi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,17 persen pada kuartal III 2018. Pertumbuhan ekonomi tersebut di atas harapan.
“Selain itu, Bank Indonesia awal bulan menerapkan non deliverable forward sebagai alternatif hedging bagi investor asing juga membuat rupiah menguat," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Aliran dana investor asing masuk ke pasar saham dan obligasi, menurut Josua menambah tenaga untuk rupiah. "Month to date dana asing masuk ke pasar saham USD 217 juta hanya di pasar saham. Yield obligasi juga sudah turun dari 8,8 persen menjadi 8,21 persen," kata dia.
Josua menambahkan, nilai tukar rupiah dapat ke posisi 14.800-14.950 per dolar AS hingga akhir 2018 asal ditopang dari sentimen internal dan eksternal.
Saat ini ada beberapa risiko pengaruhi pergerakan rupiah baik dari internal dan eksternal. Dari risiko internal yaitu kekhawatiran defisit transaksi berjalan yang melebar.
“Pada kuartal II 2018 transaksi berjalan sudah capai tiga persen. Pada akhir pekan ini BI akan umumkan current account defisit yang diperkirakan melebar menjadi 3,3 persen-3,5 persen pada kuartal III 2018. Namun diprediksi akhir 2018, di bawah tiga persen (defisit transaksi berjalan-red),” ujar dia.
Selain itu, dari eksternal, kebijakan moneter bank sentral AS atau the Federal Reserve juga menjadi perhatian pelaku pasar. “Desember keputusan suku bunga the Fed akan naik. Namun, sentimen the Fed sudah mulai price in," kata dia.
Josua menambahkan, harga minyak mulai turun akibat sanksi AS terhadap Iran juga menjadi sentimen di pasar keuangan.
Penguatan Rupiah Diprediksi Hanya Jangka Pendek
Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) tercatat menguat pada hari ini. Penguatan mata uang Garuda berada pada nominal Rp 14.975 per Dolar AS.
Meski demikian, ekonom menilai jika penguatan mata uang rupiah tersebut hanya bersifat jangka pendek. Salah satu sentimen yang akan membawa rupiah kembali tersungkur ialah kondisi global.
"Penguatan rupiah saat ini, saya yakini tidak akan jangka panjang. Penguatan sekarang lebih karena adanya beberapa data ekonomi domestik yang positif di saat tidak adanya tekanan baru dari global," tutur Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Piter Abdullah kepada Liputan6.com, Senin 5 November 2018.
Piter menambahkan, rupiah berpotensi melemah kembali pada akhir bulan November ini. "Jadi penguatan terjadi ketika tidak ada tekanan global baru. Saya perkirakan akhir bulan November ini rupiah akan kembali mengalami tekanan pelemahan," kata dia.
Momentum penguatan ini harus dimanfaatkan secara optimal oleh Bank Indonesia (BI). Itu guna menjaga nilai tukar rupiah tetap berada pada posisi 15.000 per Dolar AS hingga akhir tahun ini.
Sementara itu, ekonom Insitute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengungkapkan, perang dagang dan potensi kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS The Fed pada akhir tahun berpeluang besar menggiring rupiah untuk kembali terdepresiasi.
"Sentimen perang dagang bisa berbalik memanas di mana Trump saat ini tengah menyiapkan draft trade deal dengan China. Sementara dari dalam negeri pelaku pasar mencermati rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 sebesar 5,17 persen lebih rendah dari pertumbuhan kuartal II sebesar 5,27 persen," terang Bhima.
Adapun penurunan pertumbuhan ekonomi ini, kata Bhima, disebabkan rendahnya konsumsi rumah tangga paska Lebaran, industri manufaktur yang tertekan kenaikan biaya bahan baku dan pelemahan kurs rupiah.
"Dengan ini, menanggapi rilis data pertumbuhan ekonomi, investor rentan melakukan penjualan bersih atau net sales. Rupiah pekan ini diproyeksi bergerak dikisaran Rp 14.920-15.150," pungkasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement