Liputan6.com, Jakarta Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 2019 ditetapkan naik rata-rata secara nasional 8,03 persen. Besaran kenaikan ini sudah sesuai dengan mekanisme yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Dengan kenaikan ini, apakah sudah sesuai dengan harapan para pengusaha?
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit mengaku besaran kenaikan itu mau tidak mau harus diterima pengusaha.
Advertisement
Memang, di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih, besaran kenaikan ini dirasa merugikan pengusaha. Hanya saja, baginya, hal itu masih bisa disiasati asal besaran kenaikan setiap tahun sudah bisa diprediksi pengusaha.
"Yang penting kita butuhkan itu kepastian, itu sudah kemajuan yang bagus dan harus kita jalankan. Mengenai besarannya, itu menjadi pekerjaan kita bagaimana mensiasatinya dengan penigkatan produksi," kata Anton kepada Liputan6.com, Rabu (7/11/2018).
Dia memaparkan, sebenarnya buruh itu tidak selalu harus turun ke jalan untuk menyuarakan pendapatnya mengenai upah atau hal lainnya. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan buruh yang lebih efektif, yaitu melalui mekanisme be partit dan tri partit.
Menurut Anton, seringnya buruh turun ke jalan untuk menyiarakan pendapatnya, justru berdampak secara nasional. Terutama soal kenyamanan dan daya tarik investasi kepada Indonesia.
"Jadi Serikat Pekerja itu daripada mengajarkan para ahli demo, mending mengajarkan buruh untuk menjadi ahli negosiasi," jelasnya.
Mekanisme penetapan UMP ini sudah berjalan kurang lebih tiga tahun. Bagaimana produktivitas para buruh di mata pengusaha selama ini?
"Contoh saja di Karawang, itu kalau dihitung dalam lima tahun terakhir upah sudah naik 100 persen, tapi produktifitasnya ya begitu-begitu saja," tegasnya.
Meski begitu, pada intinya, dirinya tidak akan mempolemikkan mengenai produktifitas yang dibandingkan dengan UMP.
Dia sepakat dengan pengusaha lainnya untuk membantu para pengusaha meningkatkan produktifitas masing-masing pekerja dengan cara memberikan berbagai pelatihan.
"Jadi kita akan membantu pemerintah dalam pendidikan vokasi ini, karena ini lebih bersifat investasi jangka panjang," pungkas dia.
DPR Ingin Penetapan UMP Pertimbangkan Dua Faktor Ini
Komisi IX DPR ‎memandang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) perlu meniru Jepang, yang mempertimbangkan kesejahteraan pekerja dan kenyamanan investasi.
Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani, mengatakan kenaikan gaji di Jepang sesuai dengan tingkat inflasi. Ini sebab kenaikan gaji ditetapkan sesuai dengan angka inflasi karena ingin menjaga iklim investasi yang baik, agar kelangsungan industri dan pekerja berjalan seimbang.
‎"Kami mendapat informasi bahwa kenaikan gaji di Jepang sesuai dengan tingkat inflasi yaitu 3 persen," kata Irma, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (7/11/2018).
Baca Juga
Dia menuturkan,  penetapan UMP di Indonesia perlu bercermin pada Jepang, sehingga iklim investasi bisa dijaga dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa dihindari. Dia pun mengingatkan, perumusan besaran UMP yang kurang tepat, bisa membuat investasi lari keluar‎ negeri.
"Jangan sampai investasi lari semua ke Vietnam. Dari sama pula saya mendapat kan informasi bahwa banyak pabrik Jepang yang investasi di Vietnam. Begitu juga SDM di Jepang saat ini, terbanyak dari Vietnam, kedua China, ketiga Filipina dan ke empat Indonesia," tutur dia.
Irma melanjutkan, seluruh pemangku kepentingan  perlu melakukan pembenahan serta melihat secara jernih persoalan UMR dan kelangsungan investasi di tanah air, sebab Indonesia sudah kalah bersaing dengan Vietnam.
Dia pun memandang, jika penetapan UMP perlu dinaikkan dari 8 persen menjadi 10 persen, dengan syarat upah yang masih di bawah UMR ‎disesuaikan.
"Kita juga harus jaga betul, jangan sampai gara-gara upah naik tinggi investor kabur yang terjadi malah PHK," ujar dia.
Â
Advertisement