Sukses

Industri Elektronik RI Melesu dalam 3 Tahun Terakhir

Faktor utama penurunan industri elektronik lantaran daya beli masyarakat yang cenderung melemah.

Liputan6.com, Kuta - Pertumbuhan industri elektronik dalam negeri mengalami stagnasi bahkan cenderung menurun dalam 3 tahun terakhir. Hal tersebut salah satunya akibat daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi Indonesia.

Vice President Samsung Elektronic Indonesia, Lee Kang Hyun mengatakan, industri elektronik memang tengah mengalami masa sulit dalam beberapa tahun terakhir. Ini menyebabkan sektor tersebut sulit untuk tumbuh, bahkan menurun tiap tahunnya.

"Ini secara total ya, dari 3 tahun yang lalu, industri elektronikanya tidak berkembang. Malah turun tiap tahun mungkin kira-kira 10 persen turun," ujar dia dalam Konferensi Regional Pembangunan Industri ke-1 (Regional Conference on Industrial Development/RCID) di Kuta, Bali, Jumat (9/11/2018).

‎Menurut dia, faktor utama penurunan industri elektronik lantaran daya beli masyarakat yang cenderung turun. Ditambah lagi dengan nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi dalam beberapa waktu terakhir.

"Karena daya beli juga kurang. Dan secara jujur, kondisi ekonomi Indonesia tidak begitu bagus, dolar juga kuat, rupiah juga loncat," ungkap dia.

Pelemahan rupiah yang terjadi, lanjut Lee, mau tidak mau membuat harga bahan baku industri meningkat. Namun industri elekronik tidak bisa menaikkan harga produknya karena daya beli masyarakat turun. Ini yang membuat kondisi industri elektronik di dalam negeri semakin sulit.

‎"Jadi mungkin barang, harga jual pun yang harusnya mempertimbangkan, tapi tidak bisa naikin harga, karen daya beli rendah. Karena itu sebenarnya produsen elektronika sangat sulit tahun ini. Profit juga susah, karena harga enggak bisa dinaikin, harga bahan baku naik," tandas dia.

 

2 dari 2 halaman

Rupiah Melemah, Produsen Elektronik Siasati agar Harga Produk Tak Naik

Produsen ponsel dalam negeri turut terkena imbas dari pelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa waktu terakhir. Namun demikian, sebagian besar produsen telah memiliki strategi agar harga jual ponselnya tidak naik, namun tetap mendapatkan keuntungan.

Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Ali Subroto mengatakan, pelemahan rupiah memang sangat terasa dampaknya kepada produsen elektronik, khususnya ponsel. Sebab, sebagian komponen masih harus diimpor dari negara lain.

"Karena menggunakan komponen impor, itu tergantung dolar, maka akan meningkatkan biaya produksi. Jadi kalau rupiah melemah, biaya produksi meningkat," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (12/9/2018).

Namun demikian, lanjut dia, hal seperti ini bukan pertama kali terjadi. Oleh sebab itu, para produsen telah memiliki strategi sendiri dalam menghadapi depresiasi rupiah ini.

"Tapi ini bukan pertama kali, sejak dulu sudah sering mengalami hal ini. Jadi otomatis idealnya dibebankan kepada pasar, tapi masalahnya pasar belum tentu bisa terima. Jadi tergantung model bisnisnya (dari produsen)," jelas dia.

Ali menyatakan, jika ingin mendapatkan pangsa pasar lebih besar, biasanya produsen lebih memilih untuk mengurangi keuntungan dengan tidak menaikkan harga jual produknya. Namun jika ada juga produsen yang mengeluarkan model baru untuk dengan harga baru yang lebih mahal.

"Kalau masih punya stok lama banyak, dia masih bisa jual dengan harga lama. Atau kalau dia mau mengambil pangsa pasar, dia korbankan (keuntungan) untuk mengambil pangsa pasar. Tapi biasanya pada periode tertentu dia akan menaikkan harga sebagian. Atau kalau ada dia model baru, dia keluarkan dengan harga baru," tandas dia.