Sukses

Indef Prediksi Defisit Neraca Perdagangan Kian Melebar di Akhir Tahun

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar USD 1,82 miliar.

Liputan6.com, Jakarta Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi defisit neraca perdagangan Indonesia akan semakin melebar dalam dua bulan terakhir di 2018. Hal ini dipicu keberadaan dua momen besar pada penghujung tahun.

"Prediksi tren November, Desember akan lebih melebar, saya rasa defisitnya. Terutama karena permintaan Natal dan Tahun Baru. Impor semakin besar," kata Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto di Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar USD 1,82 miliar. Defisit ini berasal dari impor sebesar USD 17,62 miliar dan ekspor sebesar USD 15,80 miliar.

"Dengan menggabungkan impor dan ekspor maka neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar USD 1,82 miliar pada Oktober 2018," kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, hari ini.

Impor Indonesia pada Oktober meningkat tajam sebesar 20,60 persen jika dibandingkan pada September 2018. Sementara jika dibandingkan dengan Oktober 2017, impor naik 23,66 persen.

"Ini karena impor migas naik sebesar 26,97 persen dan non migas naik 19,42 persen jika dibandingkan dengan September 2018," jelas Suhariyanto.

Migas mencatatkan impor pada Oktober sebesar USD 2,91 miliar. Sementara pada sektor non migas mencatatkan impor sebesar USD 14,71 miliar. "Impor ini tetap menjadi perhatian pemerintah, supaya bisa dikendalikan," jelas Suhariyanto.

2 dari 2 halaman

Neraca Dagang Masih Defisit, Jonan Ingin RI Sontek Jepang dan Singapura

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar USD 1,82 miliar pada Oktober 2018. Dengan nilai impor dari sektor migas mencapai USD 2,91 miliar pada Oktober, sedangkan impor non migas sebesar USD 14,71 miliar.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, defisit terjadi karena ekspor industri non migas Indonesia yang masih terbilang kecil. Indonesia dinilai perlu meningkat ekspor pada industri non migas ini.

"Jepang itu punya gas nggak? Punya minyak nggak? Enggak punya. Dia impor minyak dan gasnya jauh lebih besar dari Indonesia, tapi ekspor produk lainnya juga besar. Nah, kita mestinya begitu," ujar dia di Jakarta Pusat, Kamis (15/11/2018).

Menteri Jonan menjelaskan, ekspor pada sektor non migas perlu ditingkatkan dalam upaya meningkatkan produk-produk lain yang dapat diproduksi. Kata dia, hal ini berguna untuk menghasilkan nilai di industri ekspor non migas.

"Kan impor minyak ini nggak untuk diminum kan, ini kan sebagai alat produksi, walaupun digunakan oleh konsumen itu tapi kan digunakan untuk berkegiatan. Nah, berkegiatan ini yang harus menghasilkan nilai ekspor yang lain. Jadi bukan dipisah-pisah begitu penilaiannya," tegas dia.

Dia pun memaparkan, ekspor di sektor non migas Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara tetangga.

"Ya menurut saya ekspornya kurang, non migasnya. Singapura punya minyak nggak? Itu impor semua kan. Kenapa mata uangnya masih kuat? Itu sebab ekspornya tinggi," dia menambahkan.

"China coba cek impor minyaknya berapa sehari, mungkin 3 juta barel, tapi ekspornya produk lainnya besar. Kan minyak nggak cuma dikonsumsi, salah satu bahan untuk produksi juga, dalam perspektif luas ya," tambah dia.