Liputan6.com, Jakarta Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur besaran bunga pinjaman yang ditetapkan Financial Technology (fintech).
Hal ini untuk meminimalisir kerugian yang terjadi pada konsumen, mengingat pengetahuan masyarakat terhadap fintech masih minim.
"Karena literasi yang rendah, konsumen tereksploitasi bunga dan denda yang tak masuk akal. Jangan sampai fintech menjadi rentenir online," kata dia, di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia mengatakan, hingga saat ini, pengaduan masyarakat terkait fintech menduduki porsi tertinggi dari total aduan yang masuk ke YLKI.
Hingga saat ini tercatat lebih dari 200 aduan terkait fintech. "Yang paling banyak itu adalah fintech. Bisa 40 persen," ujar dia.
Dia pun berharap OJK dapat pula menindak tegas fintech yang terbukti melakukan pelanggaran dan menjalankan praktik bisnis yang merugikan konsumen.
"Kami mendesak OJK untuk melakukan action yang lebih tegas untuk memblokir fintech yang tidak berizin, tapi sudah beroperasi. Kedua, sanksi tegas fintech yang sudah berizin tapi melanggar ketentuan," tandasnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
YLKI Terima 200 Aduan Terkait Fintech
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, pihaknya telah menerima lebih dari 200 aduan konsumen terkait layanan Financial Technology alias Fintech hingga saat ini.Â
"Ada 200-an terakhir ini. Ya bulan lalu seratusan, ini dua ratusan lebih. Kalau di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) mereka mengatakan ada 700-an, (pengaduan)," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, saat ditemui di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Tulus menuturkan, pengaduan tersebut berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Aduan yang disampaikan masyarakat sebagian besar terkait tingginya suku bunga fintech.
"Semuanya mengaku dua hal, konsumen mengaku diteror karena oleh pengelola fintech kedua bunganya terlalu tinggi. Ini yang menjadi sorotan saya adalah bunga yang terlalu tinggi," ujar dia.
Baca Juga
Selain itu, aduan lain yang masuk adalah terkait cara-cara penagihan fintech tertentu yang tidak etis. Salah satu bentuknya berupa mengobral data-data pribadi konsumen.Â
"Ada itikad tidak baik juga dari pihak fintechnya, karena pengaduan yang saya terima mereka bisa menyadap data termasuk foto. Ada pengaduan konsumen dia punya foto pribadi, cewek berbaju minim, itu disebar ke mitranya sebagai bentuk tekanan psikologis ini agar dia mengembalikan (pinjaman)," urai Tulus.
Dia mengatakan, terjadi pelanggaran yang merugikan konsumen disebabkan masih rendahnya pemahaman konsumen tentang fintech. Hal inilah yang menyebabkan konsumen tidak memperhatikan syarat dan ketentuan ketika mengakses pinjaman dari fintech.
"Literasi konsumen terkait digital itu masih rendah sehingga ketidakpahaman literasi konsumen tidak memahami persoalan-persoalan teknis di dalam masalah itu. Ini harusnya masyarakat lebih cerdas karena berinteraksi dengan digital dan finansial," kata dia.
"Rata-rata hanya tahu di mengeklik next, next, dan terjebak pada aturan itu. Padahal dia harusnya membaca tata aturan berapa persen mengembalikan, berapa persen dendanya. Mestinya dia tahu," ujar dia.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement