Liputan6.com, Jakarta Banyak program restorasi lahan gambut yang dilakukan pemerintah maupun korporasi cenderung gagal. Hal itu dinilai karena program yang dilakukan hanya fokus pada pengembalian fungsi ekologi lahan gambut dan mengabaikan pemberdayaan masyarakat.
Ini diungkapkan Pengamat Lingkungan Hidup Berry Nahdian Furqon. "Padahal dengan melibatkan masyarakat, akan diketahui kebutuhan masyarakat di wilayah restorasi gambut tersebut,” kata Berry dalam keterangannya, Senin (19/11/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia mencontohkan program Kampung Gambut Berdikari yang merupakan program CSR Pertamina di Sungai Pakning Bengkalis, Riau. Program tersebut telah mengintegrasikan antara pemulihan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Dia menilai program tersebut bisa menjadi contoh dan inspirasi pengembangan lebih jauh di tempat lain. “Ini bisa menginspirasi. Ada perbaikan lingkungan, kemudian masyarakat juga lebih berdaya, dan ekonominya lebih maju,” jelas.
Dalam menjalankan program Kampung Gambut Berdikari, Pertamina memang melibatkan masyarakat. Mulai penambahan peralatan peralatan pemadaman, pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Api (Forkompa), hingga pelatihan pemadaman.
Selain itu, pemanfaatan lahan bekas terbakar melalui pertanian budidaya nanas dan diservikasi pengolahan produk nanas seperti keripik, dodol, manisan, dan selai.
Bahkan Pertamina juga membina sembilan Sekolah Dasar di Kecamatan Bukit Batu dengan menanamkan nilai-nilai Kampung Gambut Berdikari sejak usia dini.
Implementasinya, kesembilan SD tersebut memiliki kurikulum berbasis lingkungan yang mengangkat isu-isu pencegahan kebakaran lahan dan hutan serta pemanfaatan potensi wilayah gambut.
Dan yang saat ini menjadi pusat perhatian, adalah pengembangan hutan gambut menjadi Arboretum Gambut pertama di Sumatera dan menjadikannya sebagai sarana eduwisata yang dikelola masyarakat.
Menurut Berry, dengan melibatkan masyarakat pada program restorasi dan pemulihan, dan pelestarian lahan gambut seperti pada Kampung Gambut Berdikari, maka akan muncul kesadaran masyarakat.
Dan dari sanalah, masyarakat akan turut serta dalam pelestarian dan pemeliharaan gambut, seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
“Makanya harus terus ditingkatkan dan didorong. Kalau ada semacam keberhasilan, juga bisa dipromosikan dan dipraktikkan di tempat lain. Yaitu untuk memicu dan mendorong wilayah lain dalam membangun program, yaitu dengan melibatkan peran serta masyarakat itu untuk restorasi lahan gambut,” kata Berry.
Strategi Optimalkan Produksi Padi di Lahan Rawa
Kementerian Pertanian (Kementan) tengah mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa pasang surut dan lahan lebak guna menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045.
Namun, sayangnya, produktivitas lahan suboptimal antara lain pasang surut, rawa lebak dan gambut, relatif rendah yaitu sekitar 3 ton-4 ton per hektare (ha).
Kepala Divisi Marketing PT Indo Acidatama Tbk, Edy Darmawan, mengatakan untuk mengatasi hal ini, pihaknya telah produksi pupuk Beka Gambut sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi, meski di lahan rawa sekali pun.
Baca Juga
"Dengan menggunakan pupuk cair Beka, produksi bisa naik dua kali lipat. Jika produksi semula 3,5 ton per ha, setelah pakai pupuk Beka, produksi bisa mencapai 7 ton per ha,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Dia menjelaskan, keunggulan produk ini yaitu mampu menaikan pH tanah, rawa, pasang surut dan tanah lebak. Edy menuturkan, pihaknya telah uji coba penggunaan pupuk ini di lahan rawa lebak di Desa Jejangkit, Kecamatan Jejangkit Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Hal ini juga dalam rangka peringatan Hari Pangan Sedunia ke-38 yang berlangsung di provinsi tersebut.
"Areal demplot (demonstration plot) Indo Acidatama di areal panen raya HPS seluas 15,5 ha dengan menggunakan bibit IPB-3S, Padi Mikongga, Padi Hibrida Suppadi 89 dan juga padi INPARA 2. Hasil panen demplot kami, produktivitas tanaman padi meningkat dua kali lipat. Pupuk Beka Gambut juga dapat menekan biaya produksi sekitar Rp 1,5 juta per ha," kata dia.
Advertisement