Sukses

HEADLINE: Cikampek Macet Parah, Proyek LRT dan Kereta Cepat Jadi Kambing Hitam

Untuk mengurangi kemacetan di tol Jakarta-Cikampek, Kementerian Perhubungan menghentikan sementara dua proyek infrastruktur. Efektifkan?

Liputan6.com, Jakarta - Melintas di ruas tol Jakarta-Cikampek (Japek) membutuhkan kesabaran yang tinggi. Bagaimana tidak, dalam beberapa bulan terakhir waktu tempuh untuk bisa melewati jalur tersebut bisa mencapai 5 jam. Bahkan saat akhir pekan atau libur panjang, waktu tempuh di tol tersebut bisa mencapai 8 jam.

Padahal seharusnya, waktu tempuh untuk melewati ruas tol sepanjang kurang lebih 73 kilometer (km) tersebut hanya 1-2 jam saja.

Biang kerok lamanya waktu untuk melintas tol tersebut adalah macet. Selain karena volume kendaraan yang melintas di jalur tersebut sudah melebihi kapasitas, macet tersebut juga disebabkan oleh pembangunan beberapa infrastruktur.

Ada 3 proyek infrastruktur yang saat ini tengah berlangsung di jalur tersebut. Pertama jalan tol layang (elevated) Jakarta-Cikampek, kedua proyek light rail transit Jabodebek atau disingkat LRT Jabodebek dan ketiga adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Untuk mengurai kemacetan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi akan menghentikan sementara dua pekerjaan proyek infrastruktur yang tengah berjalan yaitu pembangunan jalur kereta cepat Jakarta Bandung oleh KCIC dan proyek pembangunan LRT Jabodebek di ruas tol Jakarta-Cikampek (Japek) KM 11 sampai dengan 17.

“Kami akan minta LRT dan KCIC (kereta cepat) tidak dulu berkonstruksi di daerah kilometer 11 sampai kilometer 17. Jadi sementara ini tidak ada kegiatan di sana. Selain itu, kami juga akan mengevaluasi kegiatan Waskita Karya interchange di kilometer 24,” kata Budi pada Selasa, 20 November 2018.

Budi meminta penghentian pekerjaan proyek ini dilakukan dalam beberapa bulan ke depan atau jika dimungkinkan hingga jelang Lebaran tahun depan.

Terkait hal tersebut, Budi mengimbau kepada pekerja proyek kereta cepat dan LRT untuk memindahkan pekerjaan di lokasi lain terlebih dahulu dan akan lebih mengutamakan pengerjaan tol Jakarta-Cikampek elevated yang saat ini kontruksinya telah mencapai 57,5 persen.

“Konstruksi kami akan hitung lagi kalau saya lihat paling tidak 3-4 bulan, untuk itu yang kita kasih prioritas proyek tol elevated, ” ungkapnya.

Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan, Hengki Angkasawan menambahkan, pemerintah juga telah menyiapkan langkah-langkah untuk mengurangi tingkat kemacetan di tol Jakarta-Cikampek. Di antaranya dengan kebijakan pemberlakuan ganjil-genap di gerbang tol Bekasi Barat, Bekasi Timur dan sedang disosialisasikan di GT Tambun.

Kemudian, pembatasan jam operasional angkutan barang golongan III, IV dan V yang melintas di Tol Japek, serta pemberlakuan lajur khusus angkutan bus di tol yang berlaku setiap Senin sampai dengan Jumat pukul 06.00–09.00 WIB kecuali hari libur nasional.

Sebagai kompensasinya, pemerintah melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyediakan angkutan masal yaitu bus premium, sebagai transportasi pilihan selain kendaraan pribadi bagi masyarakat yang ingin menuju ke arah Jakarta.

“Kemarin bapak Menhub mengatakan pemberlakuan ganjil genap dan pembatasan jam operasional angkutan barang akan di perpanjang menjadi mulai pukul 05.00 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB agar lebih berdampak pada meningkatnya kelancaran lalu lintas di jalan bebas hambatan tersebut,” tutur Hengki.

 

General Manager Jasa Marga Cabang Tol Jakarta Cikampek Raddy R Lukman mengakui, dengan adanya penghentian pengerjaan dua proyek tersebut akan bisa mampu mengurangi kemacetan di jalan tol Jakarta-Cikampek.

"Logisnya aktivitas proyek pasti ada gangguan, entah misalnya penutupan lajur sementara atau lainnya. Artinya ada pengurangan pekerjaan berdampak pada kurangnya gangguan," tegas Raddy.

Ketiga proyek tersebut, saat ini dikerjakan 24 jam nonsetop. Hanya saja pada pukul 22.00 WIB-05.00 WIB, kontraktor diberi kelonggaran menambah penutupan lajur. Data Jasa Marga menunjukkan pada waktu tersebut volume kendaraan yang melintas cukup rendah.

Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya Tbk, Ki Syahgolang menuturkan, pihaknya masih berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Pekerjaan Umum dan Konstruksi, serta PT Jasa Marga Tbk mengenai penghentian pekerjaan LRT. Untuk diketahui, Adhi Karya merupakan kontraktor proyek LRT.

Ki Syahgolang melanjutkan, saat ini pekerjaan LRT sudah berada di luar badan jalan tol. Hingga Oktober 2018, kemajuan proyek pembangunan LRT sudah mencapai 48 persen.

"Kami masih melakukan detail koordinasi dengan Kemenhub, Kementerian PUPR, dan PT Jasa Marga Tbk," ujar Ki Syahgolang lewat pesan singkat yang diterima Liputan6.com, Rabu (21/11/2018).

Saat ditanya mengenai dampak bila dihentikan sementara proyek LRT di titik KM 11 hingga 17 terhadap kinerja keuangan, Ki Syahgolang mengatakan belum berdampak terhadap PT Adhi Karya Tbk. "Sampai saat ini belum ada," ujar dia.

 

2 dari 3 halaman

Bukan Solusi yang Tepat

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengatakan, selama ini ruas tol Jakarta-Cikampek merupakan jalur utama logistik barang di Pulau Jawa, bahkan di Indonesia. Hal ini membuat jalur tersebut mempengaruhi cepat atau lambatnya pengiriman barang dari produsen ke konsumen.

"Dampak kemacetan sangat parah. Kegiatan logistik banyak terganggu karen tol Cikampek adalah jalur utama logistik Indonesia, bukan hanya Jakarta atau Jawa Barat saja," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (21/11/2018).

Akibat kemacetan yang parah, para pengusaha logistik bahkan sampai menolak jika ada pesanan antar barang yang harus melewati ruas tol tersebut. "Rata-rata perusahaan truk langsung menolak kalau mendapat order yang lewat tol Cikampek. Mereka hanya melayani hanya konsumen yang sudah reguler saja," ungkap dia.

Zaldy memperkirakan, kerugian sektor usaha logistik akibat dari kemacetan tersebut mencapai Rp 100 miliar per hari. Kerugian ini bisa meningkat saat pada momen tertentu di mana terjadi peningkatan barang yang harus dikirim melalui ruas tol ini.

"Perkiraan saya kerugiannya sampai Rp 100 miliar per hari untuk biaya logistik, termasuk biaya inventory," tandas dia.

Peneliti Institute Studi Transportasi Deddy Herlambang menilai langkah tersebut kurang efektif. Apalagi kedua proyek infrastruktur tersebut termasuk dalam proyek strategis nasional.

"LRT dan KA cepat itu proyek strategis nasional. Jadi apa mungkin bisa dihentikan sementara? Lagian yang bikin macet itu malah elevated tol ke Cikampek," ucapnya saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (21/11/2018).

Dia pun menjelaskan, pemberhentian sementara kedua proyek tidak akan berdampak besar untuk mengurangi kemacetan yang mengular.

"Kalau dihentikan ya seperti semula flow-nya. Lagian juga KA cepat sendiri kan belum mulai, sedangkan LRT sendiri 80-90 persen sudah hampir selesai. Jadi bukan LRT yang membuat macet," ungkapnya.

Sekretaris pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai, keputusan yang diambil harus punya dasar kuat terkait kepentingan pengguna jalan tol.

Konsumen jalan tol sebenarnya punya hak untuk meminta kejelasan perihal kondisi yang saat ini terjadi di jalan Tol Japek.

"Konsumen di sini dapat meminta kompensasi atas kemacetan di situ. Jika operator jalan tol tak sanggup menanggulanginya, konsumen bisa menuntut. Pembangunan infrastruktur di sana juga harus memerhatikan pengguna tol," ungkapnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (21/11/2018).

Saat ditanya mengenai keputusan menyetop proyek kereta cepat dan LRT, Agus menjawab, Kementerian Perhubungan pasti punya pertimbangan tersendiri. Namun begitu, ia menggarisbawahi, masih ada satu proyek besar lagi di sekitar Tol Japek yang berhasil diloloskan, yakni pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek.

"Dari 3 proyek ini, mestinya bisa koordinasi, mana yang lebih urgent. Sekarang eranya bukan kembali ke jalan, tapi ke rel. Kemenhub pasti punya pertimbangan, tapi konsumen juga harus didahulukan," urainya.

Oleh karenanya, ia meminta berbagai elemen yang punya andil mengatur Tol Jakarta-Cikampek, untuk berembuk mengambil keputusan terbaik.

"Apapun keputusannya, itu seharusnya tidak merugikan pengguna jalan tol. Harus ada koordinasi antara pihak pengembang, operator, kepolisian, sampai Kementerian PUPR," ujar Agus.

 

3 dari 3 halaman

Perkembangan Proyek

Lalu bagaimana perkembangan dari ketiga proyek infrastruktur berskala besar sampai saat ini? Berikut rincian:

1. Tol Jakarta Cikampek II Elevated

Proyek Tol Jakarta-Cikarang II (Elevated) atau Tol Layang Jakarta-Cikampek II ditargetkan bisa rampung secara progres fisik pada Juli 2019. Sehingga ruas tol tersebut direncanakan bisa beroperasi secara fungsional sebelum Lebaran Idul Fitri tahun depan.

Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Sugiyartanto, berharap, rencana tersebut bisa terealisasikan lantaran Kementerian Perhubungan telah memprioritaskan pengerjaan proyek yang berlangsung di km 11-17 Tol Jakarta-Cikampek.

"Diharapkan lebih awal, meskipun sekarang ada deviasi karena gangguannya kan enggak bisa bekerja secara full, cuma bisa malam. Lalu lintas juga enggak boleh berhenti," ujar dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (21/11/2018).

Proyek tol layang ini diberi keistimewaan untuk bisa dilanjutkan pengerjaannya di km 11-17 Tol Japek. Hal ini menyebabkan pengerjaan dua proyek besar lainnya yang secara target penyelesaian masih panjang, yakni Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dan LRT Jabodetabek, harus berpindah ke titik lain.

"Mungkin yang masih panjang waktunya seperti KCIC ngikutin, yasudah lah yang bisa didahulukan ya didahulukan," ucap Sugiyartanto.

Dia melanjutkan, proyek ini ke depan bisa selesai cepat jika saja progrterkerjakanes pemasangan erection steel box girder sebanyak 8-12 buah bisa . Namun, hal itu sebelumnya tak dapat dilakukan lantaran adanya kepadatan lalu lintas yang menghinggapi Tol Japek.

"Barang ada, tapi kita mau ngangkatnya susah. Karena kan perlu keselamatan tinggi, karena padatnya itu. Kalau ditutup kan enggak mungkin. Kalau siang rasanya waktu terbatas, hanya dari jam 10 malem sampai jam 5 pagi," keluhnya.

 

2. Kereta Cepat Jakarta - Bandung

Selain tol layang, transportasi umum massal juga menjadi salah satu solusi dari kemacetan. Salah satu proyek besar yang juga tengah dikerjakan pemerintah adalah Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Proyek yang dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) ini akan membentang sepanjang 142,3 km dari Halim menuju Tegalluar. Menurut pernyataan Direktur Utama PT Wijaya Karya Tumiyana, salah satu perusahaan yang ikut membangun proyek ini, progress proyek angkutan massal ini baru mencapai 7,6 persen (per Agustus 2018).

Adapun jumlah investasi yang digelontorkan untuk proyek ini ialah sebesar Rp 82 triliun. Pembangunannya diprediksi akan rampung pada pertengahan 2021. Sementara tarif yang saat tengah digarap yakni sekitar Rp 200 ribu.

Waktu tempuh dari kereta cepat sekitar 36-45 menit dengan kecepatan 350 km per jam. Rencananya, kereta berhenti di stasiun setiap 20 menit sekali.

3. LRT Jabodebek

Proyek angkutan publik lainnya adalah LRT Jabodebek yang dikerjakan PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Moda transportasi ini akan menghubungkan Jakarta, Bekasi, Bogor, hingga Depok.

Pengerjaan LRT sepanjang 81,6 km ini dimulai pada September 2015 lalu dan saat ini sudah mencapai 46 persen. LRT Jabodebek akan terintegrasi dengan sejumlah moda transportasi seperti KRL, TransJakarta, MRT dan melayani tiga lintasan.

Tiga lintas layanan tersebut antara lain Cibubur - Cawang sepanjang 14,89 km dengan waktu tempuh 25 menit, Bekasi Timur - Cawang 18,5 km selama 25 menit, dan Cawang - Kuningan - Dukuh Atas 11,05 km dengan waktu 20 menit.

Dengan adanya LRT ini, masyarakat daerah pinggiran Jakarta seperti Bogor, Bekasi, dan Depok dapat menghemat 20 menit untuk menuju ke Jakarta.

Menurut General Manager Departemen TOD Adhi Karya Amrozi Hamidi, kecepatan untuk operasinya adalah 60 km per jam, tetapi desainnya bisa mencapai 80 km per jam. LRT ditargetkan untuk beroperasi pada Mei atau pertengahan 2019.

Harga tiket untuk LRT Jabodebek ini setelah disubsidi dari pemerintah sebesar 50 persen menjadi sekitar Rp 12.500 per orang sekali jalan dari harga normalnya Rp 25 ribu. Namun, tarif ini belum menjadi keputusan mutlak.