Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso terus mengupayakan peningkatan perlindungan konsumen terutama di era digitalisasi yang banyak berhubungan dengan financial tehnology (fintech). Dia mengatakan OJK selalu melakukan edukasi agar masyarakat terhindar dari perusahaan fintech bodong.
"Edukasi, edukasi dan edukasi, itu nomor satu. Karena masyarakat perlu perlindungan kalau dia merasa dirugikan, dia merasa dirugikan karena tidak tahu, ya. Tidak tahu bahwa produk itu ternyata produk yang sebenarnya tidak perlu dibeli," ujarnya di Komplek Perkantoran OJK, Jakarta, Jumat (23/11/2018).
Advertisement
Baca Juga
Wimboh mengatakan, peningkatan edukasi masyarakat merupakan langkah preemptive untuk mencegah terjadinya kerugian karena salah dalam melakukan investasi di sektor jasa keuangan. Peningkatan edukasi ini juga strategi OJK untuk memitigasi uang masyarakat sehingga meskipun ada kerugian nilainya tidak terlalu banyak.
"Jadi, bagaimana supaya masyarakat tahu bahwa mana produk yang sesuai dengan profil dia sehingga dia bisa memitigasi dirinya sendiri dengan demikian jumlah masyarakat yang dirugikan tadi tidak begitu banyak. Itu adalah prioritas yang harus kita lakukan," jelasnya.
Meski demikian, persentase fintech bodong hingga kini terus menurun seiring dengan penegakan hukum dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK. "Frekuensinya sudah turun, silahkan masyarakat kalau merasa dirugikan melaporkan ke kita," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
5 Cara Kenali Fintech Ilegal yang Suka Meneror
OJK memberi tips cara mengetahui perusahaan financial technology berbasis pinjam meminjam atau fintech peer to peer lendingyang ilegal.
Seperti diketahui, saat ini banyak keluhan debitur fintech terjerat bunga tinggi hingga teror terhadap pihak ketiga yang berada di daftar kontak telepon genggam nasabah.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengungkapkan setidaknya ada 5 tanda fintech ilegal dan bermasalah.
Ciri pertama, pengelola atau direksi sengaja menyamarkan identitas diri dan alamat.
"Sehingga kalau seseorang ingin melaporkan atau menyampaikan gugatan ke polisi mencari alamat orang ini tidak akan pernah ketemu. Jadi mereka memang sejak awal mendirikan fintech lending ilegal ini memang sudah diniatkan untuk menyamarkan segala identitasnya," kata dia saat ditemui di Fintech Center, Jakarta (13/11/2018).Â
BACA JUGA
Ciri kedua adalah syarat peminjaman yang sangat mudah sehingga menggiurkan banyak calon korban.
"Mereka ketika memberi pinjaman itu sangat mudah, begitu anda mengisi syarat seperti data KTP langsung dicairkan, gampang kan? kalau anda enggak bayar anda diteror nanti," tutur dia.Â
Sementara jika fintech lending legal tidak semudah. Calon debitur yang mengajukan pinjaman akan seleksi secara detail seperti pekerjaan, slip gaji dan lainnya.Â
Kemudian ciri ketiga fintech ilegal membebankan bunga dengan hitungan per hari diakumulasi dan tanpa batas. Sementara kalau legal ada batasnya yaitu 90 hari.
Selanjutnya ciri keempat aplikasi meminta izin akses hingga data phonebook dan data-data pribadi sejak awal diinstal.
"Sehingga ketika Anda gagal bayar itulah yang digunakan oleh fintech lending ilegal untuk meneror. Nah ketika Anda diteror and merasa diteror anda melapor ke polisi susah kondisinya mencari orang ini karena alamatnya tidak jelas," ujarnya.
Terakhir, ciri kelima adalah menggunakan data di phonebook nasabah untuk melakukan teror.
"Sementara kalau legal dilarang akses phonebook atau gambar-gambar pribadi dengan alasan hukum. Kemudian ketika menagih ada code of conduct yang hanya boleh di jam kerja, enggak boleh jam 12 malam," tutupnya.
Â
Advertisement