Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto mengatakan pihaknya tengah mengembangkan platform Sistem Data Statistik Terintegrasi (Simdasi). Platform ini dibuat untuk pengumpulan data secara terintegrasi guna mendukung Program Satu Data Indonesia.
Menurut dia, salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia adalah ketidaksesuaian antara data nasional dan daerah. Karena itu, kehadiran Simdasi dinilai mampu menjadi solusi terhadap masalah perbedaan data tersebut.
Advertisement
Baca Juga
"Ini (Simdasi) dibangun dalam upaya mengharmonisasi kegiatan pengumpulan data dalam angka dengan rencana dan strategi pembangunan Satu Data Indonesia," kata dia, dalam diskusi 'Satu Data Indonesia', di Jakarta, Senin (26/11).
Dia mengatakan, dalam pengembangan platform ini, pihaknya akan bekerja sama dengan berbagai lembaga terkait, baik pusat maupun daerah. Sebab, lembaga yang melakukan pengumpulan data bukan hanya BPS.
Diketahui, BPS hanya mengumpulkan data statistik dasar, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan neraca perdagangan. Sedangkan data sektoral dikumpulkan oleh instansi yang berkepentingan. Nantinya, data sektoral dari kementerian/lembaga (K/L) hingga pemda, akan diintegrasikan lewat Simdasi.
Sejauh ini, progres pengembangan platform bersama berbagai lembaga terkait masih terus berlangsung. Pihaknya menargetkan platform ini mulai bisa beroperasi penuh pada tahun 2019.
"Untuk Simdasi ini kita berharap kita bisa implementasikan segera, tahun 2019 supaya seluruh data menjadi konsisten, ini penting sekali," ujarnya.
"Kalau itu bisa terwujud saya yakin perencanaan pembangunan Indonesia akan jauh lebih bagus," imbuhnya.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Umbu
Sumber: Merdeka.com
Kepala BPS Ungkap Penyebab Data Pemerintah Pusat dan Daerah Kerap Berbeda
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto mengatakan hingga saat ini masih ditemukan ketidaksesuaian data sektoral antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Data yang dikumpulkan Kementerian/Lembaga Pusat berbeda dengan data yang dikumpulkan dinas atau instansi di daerah.
Sebagai contoh, terjadi perbedaan data jumlah guru Sekolah Dasar (SD) di Provinsi Yogyakarta antara Kementerian dengan Dinas di daerah. Data Kementerian mencatat pada tahun 2015/2016, jumlah guru SD di Yogyakarta berjumlah 20.809 orang. Namun jika menilik data daerah, jumlah guru SD berjumlah 19.897. Jadi ada selisih 912 orang.
Baca Juga
"Kemana yah gurunya. Ngumpet atau kemana? Ataukah me-record-nya pada waktu yang berbeda. Begitu juga jumlah murid SD di sana. Ada perbedaan sekitar 1.265," kata dia, dalam diskusi 'Satu Data Indonesia', di Jakarta, Senin (26/11/2018).
Dia menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian data pemerintah pusat dan daerah. Salah satunya berkaitan dengan metode pengumpulan data. Data yang berbeda bisa disebabkan perbedaan metodologi pengumpulan data yang dipakai Pemerintah Pusat dengan Dinas atau Instansi di daerah.
"Mungkin karena terjadi perbedaan metodologi. Semua data mentah yang sama tapi diproses dengan metodologi yang berbeda maka hasilnya akan berbeda," jelas Kecuk.
Selain metodologi, ketidaksesuaian data bisa juga disebabkan oleh berbedanya waktu pengumpulan data yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. "Perbedaan waktu. Kalau kita bicara data yang pada awal tahun berbeda dengan dengan pada akhir tahun," ujar dia.
"Atau jangan-jangan itu disebabkan oleh ketidaktelitian," imbuh dia.
Karena upaya memperbaiki kualitas pengumpulan data harus terus dilakukan. Sebab perbedaan data akan sangat berdampak pada proses pengawasan terhadap satu sektor serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan sektor bersangkutan.
"Perbedaan data yang kecil pun akan menjadi masalah untuk perencanaan dan monitoring," tandasnya.
Â
Reporter:Â Wilfridus Setu Umbu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement