Sukses

KPPU Denda Sari Roti Rp 2,8 Miliar

PT Nippon Indosari Corpindo (Sari Roti) terlambat melaporkan atau memberitahukan pengambilalihan (akuisisi) saham PT Prima Top Boga.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp 2,8 miliar kepada PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) atau produsen Sari Roti, yang merupakan produsen Boga Sari. Hukuman tersebut terkait keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan (akuisisi) saham PT Prima Top Boga.

Kepala Biro Hukum, Humas dan Kerjasama KPPU, Taufik Arianto mengatakan, perkara ini berawal dari penyelidikan terhadap keterlambatan pemberitahuan pengambilalihan saham yang dilakukan oleh PT Nippon Indosari Corpindo,Tbk sebagai Terlapor I.

"Bahwa obyek perkara aquo adalah Keterlambatan Pemberitahuan dalam Pengambilalihan (Akuisisi) Saham Perusahaan PT Prima Top Boga oleh Terlapor, dengan nilai transaksi sebesar Rp 31,4 miliar‎," ujar dia di Jakarta, Senin (26/11/2018).

Oleh sebab itu, dengan menimbang berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisa dan kesimpulan, maka Majelis Komisi serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Majelis Komisi menyatakan Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5Tahun 1999 jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010.

Atas dasar itu, KPPU‎ menghukum PT Nippon Indosari Corpindo membayar denda Rp 2,8 miliar, yang harus disetorkan ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha satuan kerja KPPU melalui bank pemerintah dengan kode penerimaan 425812.

"Memerintahkan terlapor untuk melaporkan dan penyerahan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Ada RUU Antimonopoli, KPPU Harap Pegawainya Jadi PNS

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 5 Tahun 1999 mengenai Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat mesti segera diwujudkan.

Ketua KPPU, Kurnia Toha menuturkan, ada sejumlah faktor yang mengharuskan RUU itu segera dilakukan. "Terdapat beberapa hal yang memang perlu diperkuat dari UU yang lama untuk diubah pada UU yang baru," ujar dia saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Selasa (10/7/2018).

Beberapa faktor yang perlu diperbarui adalah mengenai subjeknya. Dia menuturkan, dalam UU yang lama hanya mengatur pelaku usaha yang ada di Indonesia saja. Namun tidak mengatur pelaku usaha yang berada di luar negeri. 

"Pertama adalah subjeknya jadi UU lama ini subjeknya hanya pelaku usaha yang aktivitas di Indonesia sementara base practise internasionalnya semua negara-negara lain bukan hanya pelaku usaha di indonesia yang bisa diperiksakan tapi juga pelaku usaha di luar negeri yang berdampak ke ekonomi nasional. itu bisa kita periksa. Kita harap UU baru subjek ini bisa diubah," ujar dia.

Selain itu, lanjut Kurnia hal lain yang perlu diperbaiki pada UU yang lama adalah memgenai notifikasi merger.

"Notifikasi merger yang kita anut sekarang post merger artinya terjadi merger baru kita periksa. Kalau kita temukan hal yang bertentangan dengan hukum persaingan usaha maka kita bisa minta dibubarkan kembali. Ini akan memakan cost yang begitu besar dan hampir di semua negara sebelum merger itu sudah diberitahukan. Jadi kita minta itu," ujar dia.

Kemudian, kata dia, adalah mengenai masalah kelembagaan. Hingga saat ini KPPU secara kelembagaan masih belum jelas. Dia berharap melalui RUU yang baru KPPU dapat menjadi Aparatur Negeri Sipil (ASN) atau disebut pegawai negeri sipil (PNS).

"Kelembagaan kita ini sampai sekarang status kesekjenan kita belum jelas karena memang di UU lama dikatakan sekretariat diatur dengan peraturan komisi sehingga ini belum masuk ke ASN. Harapan kita ke depan masuk ASN," ujar dia.