Liputan6.com, Washington D.C. - Pada Revolusi Industri 4.0, sektor yang butuh banyak pekerja ternyata bukan hanya Artificial Intelligence, melainkan manufaktur. Namun, laporan firma konsultasi Deloitte dan The Manufacturing Institute menemukan ada masalah talenta pada sektor itu.
Dilansir dari Deloitte, laporan tersebut menyebut 89 persen eksekutif di Amerika Serikat (AS) setuju bahwa ada kekurangan talenta. Alhasil, hanya 2,2 juta pekerjaan manufaktur yang terisi di antara 2018-2028, padahal ada 4,6 juta pekerjaan.
Advertisement
Baca Juga
2,6 juta pekerjaan muncul karena usia pensiun. Sementara, 1,96 juta akan muncul karena pertumbuhan.
Untuk kemampuan yang diperlukan di sektor manufaktur, para eksekutif menyebut teknologi atau komputer, skill digital, programming untuk robot atau automation, kemampuan bekerja dengan peralatan dan teknologi, dan bisa berpikir kritis.
Beberapa efek yang akan terjadi adalah kesulitan pihak manufaktur untuk merespons peluang terbaru di pasar. Ada juga pihak manufaktur yang akan gagal mendukung inovasi dan perkembangan terbaru.
Laporan tersebut menyebut ada tiga hal yang dipandang para eksekutif sebagai penyebab sepinya peminat kerjaan di manufaktur: kemampuan yang berubah karena pengenalan teknologi tinggal lanjut, kesalahan persepsi di pekerjaan manufaktur, dan pensiunnya para generasi baby boomer.
Laporan tersebut menyebut industri manufaktur sudah memberikan insentif untuk menarik pekerja, tetapi itu dianggap tak terjamin efektif. Salah saran yang diberikan pun mengandalkan automation untuk mengisi pekerjaan manusia, mengembangkan in house training, menciptakan public-private partnership, dan memperkuat program apprenticeship.
Dunia Pendidikan dan Industri Harus Kerjasama Hadapi Revolusi 4.0
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mendorong kalangan civitas akademika atau lembaga pendidikan agar dapat bersinergi dengan industri/dunia usaha dalam menghadapi tantangan dan peluang menyambut revolusi industri 4.0. Pentingnya kerja sama kalangan kampus dengan industri, disebabkan kunci dari keberhasilan investasi SDM adalah partisipasi industri.
"Semakin tinggi partisipasi industri, maka akan semakin tumbuh tingkat keberhasilan investasi SDM yang berhasil, " ujar Hanif Dhakiri saat menjadi keynote speaker seminar hubungan industrial kompetensi lulusan politeknik di era revolusi industri 4.0 bertema "Revolusi Industri 4.0 Indonesia harus siap untuk peluang dan tantangan khususnya di bidang ketenagakerjaan", Jakarta, Senin, 19 November 2018.
Hanif Dhakiri menjelaskan dengan dijadikannya tingkat pendidikan sebagai salah satu indikator bagi pekerja yang ikut bersaing untuk memperoleh kesempatan bekerja, maka kualitas tenaga kerja Indonesia masih perlu diperbaiki. Salah satu upaya menguatkan peran strategis dari lembaga pendidikan yakni melalui pembelajaran langsung (live education) sehingga dapat meningkatkan kompetensi serta sinergitas dan kolaborasi dengan dunia industri.
Hanif Dhakiri mengatakan, saat ini pihaknya sedang merumuskan grand design pelatihan vokasi nasional sebagai langkah strategis persiapan SDM Indonesia di era revolusi industri 4.0 dengan melakukan revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dan pembaharuan sertifikasi kompetensi.
“Saya berharap kepada semua pihak yang berkepentingan untuk bisa memanfaatkan momentum revolusi industri ini untuk bergerak bersama menciptakan harmonisasi dalam membangun hubungan industrial yang kondusif, “ ujar Hanif Dhakiri.
Untuk itu, Hanif Dhakiri mengajak pelaku dunia usaha mengundang pelaku dunia usaha lainnya agar dapat terus membaur dengan instansi pemerintah untuk menginvestasikan sebanyak mungkin SDM agar memiliki kualitas yang baik, jumlah SDM yang memadai, dan persebaran SDM merata di berbagai daerah.
"Tanpa tiga hal tersebut, masa depan kita semakin berat. Karena itu agar tantangan ringan maka kita harus siapkan SDM menjadi SDM unggul dan memiliki daya saing yang baik. Sehingga ekonomi kita bisa tumbuh secara produktif dan kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan, " jelas Hanif Dhakiri.
Hanif Dhakiri berharap hasil seminar bisa diciptakan pikiran cerdas dan ciptakan terobosan bagaimana membuat iklim ketenagakerjaan menjadi lebih baik dan mendorong inovasi yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi.
Direktur Polteknaker Retna Pertiwi juga mengatakan adanya digitalisasi dunia industri dalam situasi global revolusi industri 4.0, sangat dibutuhkan tenaga kerja yang responsif, memiliki ketrampilan, karakter, kreatif, kolaboratif dan kontributif terhadap perubahan tersebut.
Dalam acara seminar tersebut juga hadir Sekjen Kemnaker Khairul Anwar, Dirjen PHI Jamsos Haiyani Rumondang, staf ahli Irianto Simbolon, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing (GNP2DS) yang juga mantan Menakertrans Bomer Pasaribu, Widyaiswara Sahat Sinurat, Direktur Pengupahan Direktur Adriana, Direktur Persyaratan Kerja Siti Junaedah, Direktur Polteknaker Retna Pertiwi dan 150 peserta seminar.
Â
Advertisement