Liputan6.com, Jakarta - Pertamina mengeluarkan laporan Pertamina Energy Outlook untuk memberikan insight seputar sumber daya energi di Indonesia. Salah satu yang disorot adalah kapasitas kilang minyak Indonesia.
"Di tahun 2018, Indeks daya saing kilang Indonesia masih ada yang berada di bawah rata-rata kilang Asia Pasifik," tulis Pertamina dalam laporannya.
Advertisement
Baca Juga
Sebagai perbandingan, kilang Cilacap memiliniki nilai indeks 5,8 dan kilang Balikpapan memiliki indeks 3,7. Sementara, kilang Melaka 2 Malaysia dan Jurong Singapore masing-masing memiliki indeks 7,3 dan 11,9.
Untuk kebutuhan energi di Indonesia sampai 2030 diperkirakan diesel meningkat 3,4 persen; Gasoline meningkat 1,5 persen; dan Bio Fuel meningkat 5 persen. Sementara, kebutuhan untuk avtur meningkat 5,1 persen.
Pertamina menyebut, Indonesia berada dalam kondisi defisit minyak yang besar. Penguasaan cadangan dan produksi Indonesia masing-masing sekitar 0,18 persen dan 1,02 persen, sementara konsumsi minyak Indonesia sekitar 1,68 persen dari konsumsi minyak dunia.
Tak hanya Indonesia, wilayah Asia Pasifik juga berada dalam kondisi defisit dengan prosi penguasaan cadangan sekitar 2,83 persen dan produksi 8,50 persen. Padahal, konsumsinya mencapai 35,12 persen dari konsumsi minyak dunia.
Untuk penguasaan gas, keadaan Indonesia masih lebih baik ketimbang minyak. Produksi gas masih surplus, meski surplusnya tidak terlalu signifikan.
"Indonesia masih berada dalam kondisi surplus gas, tetapi dengan nilai surplus yang relatif kecil. Penguasaan cadangan dan produksi gas Indonesia masing-masing sekitar 1,50 persen dan 1,84 persen. Sementara konsumsi gas Indonesia sekitar 1,06 persen ari total konsumsi gas dunia," tulis laporan Pertamina.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jelang Pertemuan G20 dan OPEC, Harga Minyak Anjlok
Harga minyak merosot pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta) karena terbebani ketidakpastian atas perang dagang AS dengan China. Selain itu, tanda-tanda peningkatan produksi minyak mentah global juga ikut memberikan beban ke harga minyak.
Namun memang, penurunan harga minyak sedikit tertahan dengan adanya ekspektasi bahwa para produsen minyak utama akan kembali memangkas produksi pada pertemuan OPEC mendatang.
Mengutip Reuters, Rabu (28/11/2018), harga minyak Brent berjangka turun 27 sen menjadi USD 60,21 per barel. Kontrak berjangka minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga turun 7 sen menjadi USD 51,56 per barel.
Pada minggu lalu, harga minyak Brent di USD 58,41 per barel dan WTI di USD 50,15 per barel. Harga tersebut jatuh ke level terendah sejak Oktober 2017.Â
Kedua patokan harga minyak mentah itu turun lebih dari 30 persen sejak awal Oktober 2018. Hal tersebut bisa terjadi karena tertekan oleh pasokan yang besar dan kelemahan pasar finansial yang meluas.
Para pelaku pasar akan melihat pertemuan para pemimpin Kelompok Negara G2 yang merupakan negara-negara dengan perekonomian terbesar dunia yang berlangsung pada 30 November hingga 1 Desember.
Dalam pertemuan tersebut, diperkirakan perang dagang antara Washington dan Beijing menjadi agenda utama.
Presiden AS Donald Trump terbuka untuk membuat kesepakatan perdagangan dengan Cina. Namun Trump juga siap untuk menaikkan tarif impor Cina jika tidak ada terobosan pada pertemuan makan malam dengan pemimpin Cina Xi Jinping pada acara G20 tersebut.
Gedung Putih melihat bahwa makan malam sebagai kesempatan untuk membalik halaman pada perang dagang dengan China. Namun dia mengatakan Gedung Putih telah kecewa sejauh ini dalam respons Cina terhadap masalah perdagangan.
"Perang tarif saat ini telah melukai ekonomi global dan langkah balas-membalas pengenaan tarif hanya akan meredam prospek permintaan minyak bumi," kata John Kilduff, analis Again Capital Management, New York, AS.
Tiga produsen besar minyak mentah yaitu Rusia, Amerika Serikat dan Arab Saudi, akan berada di KTT G20, meningkatkan harapan bahwa kebijakan harga minyak akan dibahas.
Advertisement