Liputan6.com, Jakarta - Dua perundingan perdagangan internasional (PPI) akan segera memasuki babak baru. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyebutkan, ada dua negosiasi PPI yang saat ini tengah diajukan untuk diratifikasi.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Dirjen PPI) Kemedag, Iman Pambagyo menyatakan, kedua PPI tersebut adalah Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Cile (Indonesia Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) dan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Hong Kong (Free Trade Agreement/FTA) dan Perjanjian Investasi atau invesment agreement.
CEPA Indonesia-Chile saat ini baru masuk ke meja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, masih belum dapat dipastikan kapan PPI tersebut akan diteken oleh Presiden. Sementara itu, ASEAN-Hongkong FTA telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut.
Advertisement
Baca Juga
"Untuk Indonesia-Chile CEPA telah berada di meja presiden, saya tidak bisa mengatakan apa-apa," kata Dirjen Iman dijumpai dalam sebuah acara diskusi, di Jakarta, Rabu (5/12/2018).
Selain dua PPI yang memasuki proses ratifikasi, Iman mengungkapkan  pada akhir tahun ini setidaknya ada tiga PPI yang akan selesai dan akan segera ditandatangani. Antara lain, Indonesia-Australia (IA-CEPA), Indonesia dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa atau European Free Trade Association / EFTA (IE-CEPA) dan PTA Indonesia-Mozambik.
Iman menyebutkan, ada beberapa strategi khusus pemerintah dalam perdagangan internasional, yaitu: pertama, mempertahankan dan meningkatkan akses ke pasar tradisional sambil memperluas akses ke pasar non-tradisional.
Kedua, mendorong transformasi struktur ekspor berbasis komoditas menjadi produk dan layanan bernilai tambah untuk meningkatkan rantai pasokan atau supply chain. Ketiga, targetkan pasar secara khusus dengan fokus membantu meningkatkan neraca perdagangan. Keempat, manfaatkan sepenuhnya skema preferensi yang ada (AEC, ASEAN + 1s, IJEPA, INA-PAK FTA dan lain-lain).
"Yang penting kelima adalah menyusun 'sin list' negara-negara tujuan ekspor sambil menghindari atau mengurangi kebijakan yang bermasalah,"Â ujar dia.
Â
Ini Kerugian Jika RI Tak Meratifikasi 7 Perjanjian Perdagangan Internasional
Sebelumnya, Pemerintah memutuskan segera menyelesaikan proses ratifikasi tujuhperjanjian perdagangan internasional (PPI). Penetapan ratifikasi tersebut akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution pada Rabu 7 November 2018  di kantornya. Menko Darmin menggelar rapat koordinasi mengenai penyelesaian ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional di lingkup Asean dan Asean plus one FTA (Free Trade Agreement). Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Adapun penetapan ratifikasi ini akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden, yang sebelumnya ketujuh PPI ini juga secara bertahap telah disampaikan ke DPR, lebih dari 60 hari yang lalu.
"Jadi kita putuskan dalam rakor ini untuk meratifikasi 7 PPI dengan mempertimbangkan UU Perdagangan tentang Pengaturan Ratifikasi PPI. Keputusan ini juga diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut. Saya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap," ujar Darmin.
Adapun ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan internasional ini antara lain ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), First Protocol to Amend the ASEAN-Australisa-New Zealand FTA (AANZFTA) dan Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA).
Kemudian, Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA), Protocol to Implement the 9th Package of ASEAN Framework Agreement on Services (the 9th AFAS Package), dan Agreement on Trade in Service under the ASEAN-India FTA (AITISA) dan Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA).
Ada beberapa potensi kerugian bila Indonesia tidak meratifikasi 7 PPI tersebut. Misalnya pada perjanjian AANZFTA, akan ada dua kerugian, yaitu 11 parties akan menolak SKA (versi lama) sehingga produk Indonesia tidak dapat memanfaatkan preferensi tarif dalam AANZFTA.Â
"Kedua, sejak AANZFTA berlaku, Indonesia termasuk beneficiary utama. Kemudian, ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai 73,6 persen atau senilai USD 1,76 miliar dari total ekspor ke Australia senilai USD 2,35 miliar pada tahun 2017," ujar Darmin.
Kemudian pada perjanjian AITISA, Darmin mengatakan, Indonesia tidak dapat mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya (posisi high and middle management), dan jasa rekreasi yang menjadi keunggulan Indonesia, India.
"Lalu Indonesia dapat disengketakan karena tidak menerapkan prinsip transparansi karena tidak menurunkan biaya transaksi, tidak dapat memberikan kepastian kode HS yang dikomitmenkan sebagai hasil perundingan (HS 2007 ke HS 2012), jika tidak meratifikasi perjanjian AKFTA," kata dia.
Â
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement