Sukses

Penjualan Sedotan Kertas Meroket hingga 4.900 Persen

Perlawanan melawan plastik semakin kuat di luar negeri. Perusahaan sedotan kertas pun kena untung.

Liputan6.com, Fort Wayne - Resistensi masyarakat internasional terhadap plastik semakin kuat. Buktinya, sedotan plastik mulai ditinggalkan dan terjadi peralihan ke sedotan kertas.

Dilaporkan Fox Business, penjualan sedotan kertas meroket hingga 4.900 persen. Itu tak terlepas dari langkah perusahaan global yang mulai melawan pemakaian sedotan plastik, di antaranya McDonald's, Starbucks dan Goldman Sachs Group.

Mula perlawanan terhadap sedotan plastik adalah ketika beredar video penyu yang lubang hidungnya tersangkut sedotan plastik. Video tersebut direkam oleh ahli biologi laut Christine Figgener dari Universtitas Texas A&M dan sudah ditonton sampai 33 juta kali.

Perusahaan yang menjadi andalan pemasok sedotan kertas adalah Aardvark yang telah mulai membuat sedotan kertas pada 1888. Saat ini, Hoffmaster Foodservice telah mengakuisisi Aardvark dan memberitahukan bisnis akan berekspansi berkat lonjakan permintaan sedotan kertas.

"Ini begitu luar biasa. Fasilitas baru kita di Fort Wayne akan memiliki tujuh hinggal delapan kali kapasitas dari yang kami punyai di fasiltas eksisting kami," ujar Presiden Hoffmaster Foodservice Andy Romjue.

Dan tenyata, para startup pun juga mulai merambah ke bisnis sedotan plastik. Loliware memiliki produk Lolistraw yang menciptakan sedotan yang bisa dimakan dan terbuat dari rumput laut, lalu ada Simply Straws yang membuat sedotan yang bisa kembali digunakan.

Di Indonesia, resistensi melawan plastik juga sudah mulai digunakan oleh pemerintah. Menteri Susi Pudjiastuti memberi denda  pada pemakaian plastik di kantor kementeriannya, dan Kementerian Dalam Negeri juga memberi himbauan sejenis.

Kesadaran publik tergugah karena beredarnya foto paus mati di Wakatobi yang tubuhnya dipenuhi sampah plastik.

2 dari 2 halaman

Greenpeace Temukan 797 Merek Sampah Plastik di 3 Pantai Indonesia

 Indonesia menjadi penyumbang sampah ke laut terbesar nomor dua di dunia. Greenpeace Indonesia menemukan 797 merek sampah plastik di tiga lokasi, yakni Pantai Kuk Cituis (Tangerang), Pantai Pandansari (Yogyakarta), dan Pantai Mertasari (Bali), pada pertengahan September 2018.

"Yang terbesar adalah merek-merek makanan dan minuman (594 merek), kemudian merek-merek perawatan tubuh (90), kebutuhan rumah tangga (86), dan lainnya (27)," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi dalam keterangan tertulis yang dikutip Liputan6.com pada November lalu. 

"Ada pun jumlah sampah yang kami kumpulkan dari tiga lokasi tersebut sebanyak 10.594 kemasan," imbuhnya.

Greenpeace Indonesia juga menemukan cukup banyak sampah plastik yang tidak lagi terlihat mereknya. Hal itu mengindikasikan sampah tersebut sudah lama terbuang dan berada di lingkungan tersebut.

"Sampah-sampah plastik tersebut bisa berasal dari masyarakat sekitar, serta dari tempat yang jauh yang kemudian terbawa arus," jelas Atha.

Secara global, ungkap dia, hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang dan 12% dibakar. Dengan kata lain, 79% sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.

"Oleh sebab itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah khususnya Pasal 15, produsen harus bertanggung jawab atas sampah kemasannya, utamanya dengan mengubah model bisnisnya untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan kemasan plastik sekali pakai," ujar dia.

Menurut Atha, produsen mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan masalah sampah plastik yang mereka ciptakan, sementara pemerintah harus bisa tegas terhadap para produsen seperti yang tertuang dalam UU No 18. Kebijakan pemerintah sejauh ini belum kuat.

"Kehadiran Peraturan Presiden No 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pun belum tegas mendorong produsen untuk mengubah kemasannya menjadi dapat digunakan secara terus-menerus atau diisi ulang. Pasalnya, beleid tersebut mengutamakan produksi plastik yang mudah terurai dan dapat didaur ulang, dalam arti lain, masih sekali pakai," ungkapnya.

Bila kebijakan perusahaan dan pemerintah hanya sebatas daur ulang dan menggunakan plastik ramah lingkungan, sambung Atha, "Maka target Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di lautan pada 2025 hanyalah sekadar angan-angan."

Video Terkini