Sukses

Kekayaan Bos Facebook Merosot Rp 219 Triliun di 2018

Kekayaan bos Facebook merosot tahun ini. Bermacam kontroversi pun diduga menjadi penyebab.

Liputan6.com, Menlo Park - Tahun 2018 sungguh berkesan bagi CEO Facebook Mark Zuckerberg. Tahun ini, ia kehilangan harta sampai USD 15 miliar atau setara Rp 219 triliun (USD 1 = Rp 14.615).

Menurut laporan Time, Mark Zuckerberg mengalami kerugian lebih besar ketimbang orang-orang terkaya lainnya. Ini tak terlepas dari bermacam kontroversi seputar Facebook tahun ini.

Di antaranya adalah Facebook yang dituduh bertanggung jawab atas penyebaran berita palsu yang melibatkan agen Rusia untuk memengaruhi pemilu presiden 2016 di Amerika Serikat, lalu kasus Rohingya, dan masalah privasi seperti pengumpulan data profil pengguna lewat aplikasi.

Pada Juli lalu, saham Facebook juga mengalami kejatuhan tertinggi dalam sejarah saham AS, yakni sampai 20 persen. Selain kontroversi politik, Facebook juga memiliki masalah lain terkait pertumbuhan pengguna yang stagnan.

Instagram merupakan salah satu media sosial yang menyaingi Facebook karena lebih populer di kalangan anak muda, tetapi Instagram sudah diakuisisi Facebook pada 2012. WhatsApp juga telah dibeli Facebook pada 2014.

Meski kehilangan banyak harta, posisi Mark Zuckerberg masih sangat aman Berdasarkan data Bloomberg Billionaire Index, harta Zuckerberg mencapai USD 57 miliar (Rp 833 triliun). Saat ini adalah orang terkaya nomor 6 di dunia.

2 dari 2 halaman

LinkedIn Pakai Email 18 Juta Non-Pengguna untuk Iklan Tertarget di Facebook

Jejaring sosial profesional LinkedIn diprotes oleh Ireland's Data Protection Commissioner (DPC). Pasalnya, LinkedIn dinilai telah menyalahi aturan perlindungan privasi data GDPR yang diimplementasikan di Eropa.

LinkedIn disebut-sebut telah menggunakan email milik 18 juta orang yang bukan merupakan pengguna, untuk keperluan iklan tertarget di Facebook.

Mengutip laman The Verge, 27 November 2018, pelanggaran ini terkait upaya LinkedIn dalam mengembangkan basis penggunanya.

"LinkedIn memproses 18 juta alamat email non-pengguna agar pemilik email tersebut menjadi pengguna LinkedIn melalui layanan iklan tertarget di Facebook," demikian bunyi laporan Tech Crunch.

Dalam laporan yang sama, disebutkan banyak perusahaan memindahkan operasi pemrosesan data mereka ke Irlandia sebelum diterapkannya peraturan privasi data Eropa yang baru.

"Keluhan ini akhirnya diselesaikan secara damai. LinkedIn pun telah menghentikan praktik-praktik tersebut," kata DPC.

Namun demikian DPC khawatir dengan isu-isu sistemik baru yang lebih luas saat diidentifikasi. Kemudian, DPC pun melakukan audit kedua untuk melihat apakah LinkedIn memiliki keamanan teknis dan tindakan organisasi yang cukup.

Hasilnya, ditemukan kalau LinkedIn melakukan pra-komputasi tiap jaringan profesional yang disarankan untuk para calon anggota LinkedIn.

DPC juga memerintahkan agar LinkedIn menghapus dan menghentikan penggunaan email non-pengguna untuk iklan tertarget di Facebook, terutama untuk kasus sebelum Mei 2018.

Dalam pernyataannya, LinkedIn menyebut, pihaknya mau bekerja sama dengan pihak investigator dan mengikuti prosedur dan proses yang ada.

"Kami menghargai investigasi DPC pada 2017 atas keluhan tentang kampanye iklan. Kami bekerja sama sepenuhnya," kata Kepala Privasi EMEA untuk LinkedIn Denis Kelleher.

"Sayangnya, proses dan prosedur yang kuat yang kami miliki tidak diikuti, untuk itu kami memohon maaf. Kami telah mengambil tindakan yang tepat dan meningkatkan cara kerja kami," katanya.