Liputan6.com, Jakarta Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri mengatakan, industri sektor jasa memiliki nilai jual yang cukup tinggi di 2019. Para pengusaha diminta memanfaatkan peluang tersebut.
"Kesenjangan sektor jasa dan barang, saya mengajak teman-teman banyak memelototi sektor jasa," ujar Faisal di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Faisal melanjutkan, sejauh ini sektor jasa memiliki sumbangan yang cukup besar terhadap ekonomi Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Pemerintah bahkan telah menerbitkan berbagai kebijakan agar industri jasa lebih bergeliat. "Karena sumbangan jasa ke ekonomi makin lama makin besar. Perdagangan itu cenderung ke barang, padahal banyak jasa yang relevan baik policy ataupun praktik," jelas Faisal.
Sementara itu, industri yang dinilai mengahadapi tantangan besar di 2019 adalah industri makanan dan minuman. Sebab, industri ini banyak menghadapi persaingan dengan munculnya berbagai variasi makanan minuman impor.
"Kalau kita lihat makanan minuman makin tergerus penetrasi makanan impor dari Thailand, Singapur, Malaysia, Korea. Padahal bahan baku kita lebih bagus. Oleh karena itu, kita tahu apa yang harus kita lakukan untuk tahu lebih dalam tentang prospek ini," jelasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Salah satu yang bisa dimanfaatkan dari ada perang dagang ini yaitu peluang ekspor.
Pemerintah harus bisa memanfaatkan gejolak ekonomi global sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satunya dengan meningkatkan ekspor produk-produk olahan, bukan hanya ekspor barang mentah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini memang sebagai dampak dari krisis global terkait perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Baca Juga
Namun beberapa negara terdampak krisis faktor eksternal saat sudah mulai bangkit dan justru memanfaatkan perang dagang tersebut.
“Seperti India, Vietnam, Thailand dan beberapa negara lain. Dan mereka bisa memanfaatkan krisis ini sehingga pertumbuhan ekonominya naik di atas enam persen. Dan Indonesia semestinya harus melakukan hal itu," ujar dia di Jakarta, Senin (5/11/2018).
Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) ini juga menyatakan, salah satu yang bisa dimanfaatkan dari ada perang dagang ini yaitu peluang ekspor. Namun sayangnya 65 persen ekspor Indonesia dari barang mentah.
"Sehingga yang menentukan pasar global. Padahal, kalau ekspornya sudah dalam bentuk barang jadi, kita bisa menjual barang dengan menyesuaikan dengan nilai produksi," ungkap dia.
Selain faktor eksternal, pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga lantaran belum terwujudnya demokrasi ekonomi di Tanah Air. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
"Pada Intinya, demokrasi ekonomi itu harus ada. Demokrasi ekonomi itu adalah semua orang harus ikut bergerak untuk meningkatkan perekonomian nasional. Karena, dalam UU itu sudah jelas, pemerintah berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan," kata dia.
Menurut Hendri, hal ini juga dilakukan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia. Kalau demokrasi ekonomi tersebut terbentuk dengan baik, maka kesenjangan ekonomi tidak lagi terjadi, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
"Karena di dalam undang-undang itu sendiri sudah jelas. Bahwa negara berkewajiban memberikan lapangan pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi warganya. Jadi hak untuk mendapatkan pekerjaan itu bukan hanya masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Jadi masyarakat yang mau bekerja tidak perlu harus berkompetisi dulu," kata dia.
Penyediaan lapangan kerja ini, lanjut Hendri, juga harus merata untuk semua strata pendidikan. Meski hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), tetapi pemerintah tetap berkewajiban menyalurkan pekerjaan yang disesuaikan dengan level pendidikannya.
“Saya rasa bagi masyarakat yang memiliki pendidikan SD juga masih memiliki potensi dalam meningkatkan ekonominya. Seperti bertani dan dan pekerjaan yang disesuaikan dengan bidangnya,” tandas dia.
Advertisement