Liputan6.com, Jakarta - Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia‎ (UI) Rhenald Kasali menyatakan, ada pihak yang tidak senang dari keberhasilan Indonesia menguasai 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Rhenald mengatakan, untuk memahami kasus Freeport Indonesia ini harus bisa dibedakan Freeport Indonesia sebagai Perseroan Terbatas (PT) dan tanah yang ditambang oleh perusahaan tersebut yang berisikan mineral dan lainnya.Â
Dalam kasus Freeport ini, tanah tambang yang ada di Papua masih dikuasai oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, dari dulu Indonesia mendapat uang konsesi, pajak dan lainnya.
Advertisement
Kemudian, Freeport Indonesia yang merupakan Perseroan Terbatas (PT) ini bukan aset negara. Di dalam PT ada aset, ada modal, saham, penelitian dan pengembangan, direksi, expertise, merek, teknologi, pasar dan lain-lain.
Baca Juga
Dengan demikian PT bukan menjadi milik negara sehingga jika terjadi nasionalisasi maka akan dibawa oleh pemiliknya.Â
"PT ini bukan milik kita. Itu dibawa asing ke tanah Indonesia dan kalau mereka diusir, pasti aset-asetnya itu diangkut semua keluar dan kita pasti tak bisa olah emas itu dengan cara konvensional," ujar dia Sabtu (22/12/2018).Â
Menurut Rhenald, ‎Indonesia telah mengambil alih saham Freeport, sehingga bisa menjadi pemegang saham mayoritas. Sehingga bisa mendapat bagian lebih besar dan bisa memegang kendali, dari pengolahan dan teknologi yang selama ini tidak dikuasai.
"kita bisa belajar alih teknologi dan skill," tegasnya.
Rhenald mengungkapkan, ‎keberhasilan akuisisi saham hingga menjadi pemilik mayoritas tidak selalu mendapat apresiasi. Dia pun menyebutkan masih ada pihak yang tidak senang bahkan menyalahkan pemerintah.
"Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan bangsa Indonesia. Orang seperti itu akan selalu ada di negeri ini. Mereka senang memakai Kacamata buram, dan selalu hanya mencari kesalahan," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Benarkah Freeport Bisa Didapat Gratis pada 2021?
PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) telah meningkatkan kepemilikan saham nasional pada PT Freeport Indonesia menjadi 51,23 persen. Peningkatan kepemilikan tersebut dengan membelinya senilai eharga USD 3,85‎ miliar.
Namun masih ada pihak yang menyayangkan keberhasilan ter‎sebut dan beranggapan Indonesi bisa menguasai Freeport Indonesia. Menurut beberapa orang, Freeport bisa didapat secara gratis setelah kontrak habis pada 2021. Benarkah?
Dikutip dari keterangan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui akun Instagram @kementerinbumn, di Jakarta, Sabtu (22/12/2018), anggapan Indonesia bisa menguasai Freeport dengan gratis pada 2021 tersebut tidak benar.
Meski kontrak Freeport Indonesia habis pada 2021, tidak serta merta Indonesia bisa mendapatkan tambang yang terletak di Papua tersebut dengan gratis. Alasannya, kontrak yang dibuat pada 1991 atau zaman Presiden Soeharto‎ menyadera pemeritah karena ada opsi untuk diperpanjang sampai 2041.
Jika opsi dalam kontrak tersebut dilanggar, maka Indonesia terancam digugat di pengadilan internasional. Jika kalah dalam pengadilan tersebut, maka Indonesia diwajibkan untuk membayar ganti tugi senilai puluhan triliun.
Selanjutnya, kontrak Freeport Indonesia tidak sama dengan kontrak pada sektor minyak dan gas bumi (migas), yaitu setelah kontrak habis maka blok migas beserta asetnya dikembalikan ke pemerintah dan diserahkan ke Pertamina karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah.
Oleh karena itu, untuk bisa menguasai Freeport, Pemerintah Indonesia menggelar negosiasi dengan Freeport McMoran sebagai induk Freeport Indonesia. negosiasi ini untuk pengusahaan saham Inalum di Freeport Indonesia menjadi ‎51 persen sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetang Mineral dan Batubara (Minerba).
Di tengah negosiasi, akhirnya pada September 2018 Freeport McMoran sepakat melepas sahamnya sebesar 41,64 persen sahamnya ke Inalum sehingga kepemilikan saham pihak Indonesia meningkat menjadi 51,23 persen. Pelepasan tersebut dengan membayar USD 3,85 miliar atau Rp 55 triliun pada akhir tahun ini.
Advertisement