Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, mengapresiasi langkah Pemerintah RI yang berhasil mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Menurutnya, hal itu merupakan sinyal positif ke depan untuk bisa mencaplok berbagai perusahaan tambang kelas dunia lain yang beroperasi di Indonesia.
Meski begitu, ia menyayangkan adanya sorotan miring dari berbagai pihak atas divestasi saham Freeport Indonesia ini. Sebab, lanjutnya, kepemilikan saham Freeport Indonesia merupakan modal utama untuk dapat kuasai teknologi dan aset perseroan.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau mau pikir lebih panjang sedikit, maka kita perlu ambil saham PT-nya. Untuk apa? Untuk kuasai teknologi dan aset-asetnya, ikut memimpin perusahaan, sehingga lagi-lagi kita tambah pengetahuan dan kompetensinya. Maka itulah langkahnya, beli sahamnya dong," imbuh dia, Senin (24/12/2018).
Seperti diketahui, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) resmi mengambil alih 51,23 persen saham Freeport Indonesia setelah mengeluarkan dana sebesar USD 3,85 miliar. Adapun PT Inalum menandai pembelian saham Freeport Indonesia dengan menerbitkan obligasi global (global bond) senilai USD 4 miliar.
Berkat penguasaan ilmu holding tambang tersebut, Rhenald Kasali meneruskan, Indonesia kelak bisa mengambil alih lahan kerja milik perusahaan tambang asing lainnya.
"Kita juga berpotensi membeli perusahaan tambang kelas dunia di Brasil, Canada, Australia, bahkan Afrika," tegas dia. "Jadi melihatnya harus jauh ke depan. Harus berani investasi dong. Harus visioner. Dan yang lebih penting, berani untuk maju dan hidup," pungkas dia.
Saksikan video di bawah ini
Obligasi paling aman
PT Indonesia Asahan Alumunium menerbitkan obligasi global (global bond) senilai USD 4 miliar untuk menggenapi kepemilikan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) menjadi 51 persen lewat modal dana sebesar USD 3,85 miliar.
Obligasi global itu terdiri dari empat masa jatuh tempo (tenor) dengan tingkat kupon rata-rata sebesar 5,991 persen. Pertama, yakni tenor 3 tahun sebesar USD 1,1 miliar dengan kupon 5,23 persen.
Kedua, tenor 5 tahun sebesar USD 1,25 miliar dengan kupon 5,71 persen. Lalu tenor 10 tahun sebesar USD 1 miliar dengan kupon 6,53 persen, serta tenor 30 tahun senilai USD 750 juta dengan kupon 6,757 persen.
Rhenald Kasali menilai, penerbitan global bond merupakan upaya yang berisiko, namun masih lebih aman dibanding memakai dana pinjaman atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Namanya juga bisnis, mana ada bisnis atau pembiayaan yang tak berisiko. Lebih berisiko lagi kalau belinya pakai loan, atau APBN, karena rupiah akan langsung tertekan. Ini kan kita berada di tengah-tengah era trade war," ungkap dia lewat keterangan tertulis, Senin (24/12/2018).
"Begitu pinjam pakai loan, maka tahun depan sudah langsung harus bayar interest besar-besaran dan pokok pinjamannya sekaligus. Beda dengan bond, pokok-nya dibayar di belakang. Artinya kita bisa menabung, dapat bunga pula," tambahnya.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, pendapatan EBITDA Freeport dalam setahun yakni sebesar USD 4 miliar, dengan net profit USD 2 miliar. Sehingga, sambungnya, jika negara membeli saham perseroan dalam skema divestasi ini senilai USD 4 miliar, maka dalam 4 tahun global bond sudah bisa dibayar dari dividennya saja.
"Lalu kita akan dapat PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang dulu tak pernah dibayar Freeport, dapat bea keluar, dapat smelter yang dulu tak di-enforce di era almarhum IB Sudjana (mantan Menteri ESDM) dan penerusnya. Mereka semuanya serba kompromi dan menguntungkan Freeport Indonesia," keluhnya.
Advertisement