Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia resmi mengambilalih 51,2 persen saham PT Freeport Indonesia, melalui PT Inalum.
Dengan beralihnya kepemilikan mayoritas saham tersebut, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah kembali mempekerjakan 8.100 karyawan Freeport yang sebelumnya kena pecat atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Advertisement
Baca Juga
"Dengan selesainya divestasi 51 persen walaupun lepas dari perdebatan kita apresiasi kerja keras pemerintah. Langkah pertama adalah panggil kembali 8.100 orang yang buruh sudah di PHK tanpa kejelasan itu," kata Presiden KSPI, Said Iqbal, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2018).
Dia menegaskan pemerintah seharusnya bisa melakukan hal tersebut. Sebab, saat ini Freeport sudah bukan lagi perusahaan milik asing. "Kan sudah milik kita, kalau dulu milik asing. Sekarang milik kita, panggil kembali rakyat itu," ujarnya.
Dia mengungkapkan, 8.100 korban PHK tersebut bisa ditempatkan di mana saja. Asalkan masih di bawah nama Freeport.
"Mau diletakkan pada anak perusahaannya kah atau di mana kita serahkan pada kebijakan pemerintah. Itu harapan kita yang pertama, 8.100 banyak loh, masih di-PHK terkatung-katung," ungkapnya.
Dia juga mengungkapkan semoga Freeport segera membangun smelter seperti yang sudah dijanjikan. "Yang kedua kita berharap segera penuhi tentang kewajiban membuat smelter," tutupnya.
Â
PHK Massal
Sebelumnya, tokoh masyarakat Amungme Papua, Yosep Yopi Kilangin mengkritik kebijakan PT Freeport Indonesia dan perusahaan subkontraktornya karena merumahkan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal karyawannya semenjak mengalami krisis akibat kebuntuan negosiasi dengan pemerintah pada awal Februari.
"Saya kira kebijakan PHK ribuan karyawan itu tidak masuk akal. Ini jelas pelanggaran Hak Azasi Manusia. Masa Freeport sudah keruk keuntungan selama hampir 50 tahun, tapi menangani masalah begini saja dia tidak sanggup sehingga dia harus melakukan PHK besar-besaran karyawan," kata Yopi Kilangin di Timika, Rabu.
Yopi, putra kandung almarhum Mozes Kilangin, salah satu tokoh penandatangan dokumen January Agreement 1974 itu menilai kebijakan Freeport dan perusahaan subkontraktornya yang melakukan PHK massal karyawan menunjukkan bahwa perusahaan itu tidak memiliki perencanaan yang matang dalam hal penataan karyawannya.
Akibat dari kebijakan PHK massal itu, ribuan karyawan Freeport dan perusahaan subkontraktornya tidak hanya kehilangan mata pencaharian guna menghidupi keluarga dan membayar angsuran kredit, bahkan ada karyawan yang sampai kehilangan nyawa akibat serangan jantung.
Advertisement