Sukses

Menko Darmin: Inflasi Rendah Bukan Berarti Daya Beli Masyarakat Rendah

Menko Darmin optimis inflasi 2019 akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menegaskan bahwa [inflasi ]( 3861337 "")yang terjaga rendah bukan berarti daya beli masyarakat melemah.

"Wah kalau daya beli turun, malah harganya enggak naik. Ini masih ada naik," kata dia di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (2/1/2019).

"Kalau Anda bilang karena demand rendah? Ya enggak. Karena di awal tahun inflasi kita tinggi sekali. Kita coba perlambat," lanjut dia.

Menurut dia, kinerja inflasi yang terjaga rendah disebabkan karena upaya-upaya pengendalian harga yang dilakukan pemerintah, terutama harga komoditas yang berpengaruh terhadap inflasi.

"Kenapa lebih rendah? Karena kita bisa mengendalikan kebutuhan kita yang diukur inflasinya, pangan, distribusi, perhubungan, pendidikan," jelas dia

Melihat data ini, Darmin optimis inflasi 2019 akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Bahkan inflasi diyakini bisa lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar 3,5 persen.

"Kenapa? Karena kita bisa kendalikan lebih baik. Kalau kalian ingat Januari (2018) inflasi tinggi sekali, malah kita cemas lihatnya, wah celaka nih. Ini inflasi akan meledak berlebihan. Tapi kemudian bisa turun sedikit-sedikit, ingat enggak Februari, Maret, itu negatif inflasinya. Tapi Januari tinggi. Jadi jangan mulai ditafsir hubungannya dengan demand," tegas Darmin.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto melaporkan inflasi pada Desember 2018 sebesar 0,62 persen. Dengan demikian, inflasi tahunan (year on year) selama 2018 mencapai sebesar 3,13 persen.

2 dari 2 halaman

Harga Makanan dan BBM Jadi Penyumbang Inflasi Terbesar di 2018

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi 2018 sebesar 3,13 persen. Inflasi tersebut di bawah target pemerintah dalam APBN 2018 sebesar 3,5 persen plus minus 1 dan di bawah pencapaian pada 2017 sebesar 3,61 persen.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, inflasi 2018 sebagian besar disumbang bahan makanan sebesar 0,68 persen. Namun dari sisi komoditas, kenaikan bensin memberi andil terbesar yaitu 0,26 persen.

"2018 penyebab utamanya bahan makanan 0,68 persen andilnya. Disusul kelompok makanan jadi, minuman, rokok, tembakau, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar," ujarnya di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (2/1/2018).

Suhariyanto melanjutkan, berbeda dengan 2018, pada 2017 inflasi sebagian besar disumbang oleh kenaikan tarif transportasi, komunikasi dan jasa keuangan. Kemudian, disusul oleh kenaikan tarif dasar listrik (TDL).

"Pada 2017 inflasi 3,61 persen penyebab utamanya pertama transportasi komunikasi dan jasa keuangan. Kedua adalah perumahan, air listrik gas dan bahan bakar. kita ingat pada waktu itu ada kenaikan TDL," jelasnya.

Dengan adanya catatan penyebab-penyebab inflasi dalam dua tahun terakhir, Suhariyanto berharap pemerintah dapat mengendalikan harga komoditas tersebut. Sehingga, ke depan inflasi sesuai dengan target yang ditetapkan dalam APBN 2019.

"Untuk jadi instropeksi supaya 2019 lebih siap dan belajar dari apa yang terjadi. Apa yang bagus di 2018 dan yang perlu dibenahi kemudian sepanjang 2019," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Video Terkini