Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Faisal Basri mengkritik melalui laman Twitternya bahwa Indonesia disebut sebagai pengimpor gula terbesar di dunia pada tahun ini.
Merespons hal tersebut, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan produksi gula dalam negeri memang tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi dan industri.
Dia menambahkan, transaksi impor pada dasarnya tidak dilarang. Lantaran, pemerintah selalu mempertimbangkan kepentingan khusus ketika melakukan impor seperti pasokan yang belum memadai dan kualitas dari pasokan yang ada di dalam negeri.
Advertisement
Baca Juga
"Membaca twit dari orang ya? Jadi gini, saya sampaikan kita impor berdasarkan kebutuhan. Produksi gula dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan baik konsumsi, apalagi industri," ujarnya di Gedung Kemendag, Kamis (10/1/2019).
Dia menggambarkan, pada dasarnya pemerintah tidak akan melakukan impor jika kebutuhan dalam negeri tercukupi. Ia berjanji tidak akan mengorbankan industri karena transaksi impor tersebut.
"Kita impor berdasarkan kebutuhan karena tidak cukup pasokannya. Kedua kualitasnya tidak sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, Coca Cola tidak mungkin mau nerima gula tebu dari dalam negeri yang ikumsanya tinggi, yang warna cokelat itu. Apakah bisa diterima oleh industri? Tidak. Dodol garut gampang bulukan kalau pakai yang itu kalau kata pabrik dodol Garut," ujarnya.
Adapun menurut dia, perkiraan kebutuhan gula industri tahun 2019 sebesar 2,8 juta ton. Sedangkan kebutuhan gula untuk konsumsi pihaknya mengaku tengah menghitung berapa besar yang dibutuhkan.
"Jumlah produksi gula tidak cukup untuk memenuhi konsumsi apalagi industri. Industri 2,8 juta ton perkiraan untuk industri 2019. Yang konsumsi sedang dihitung," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemerintah Diminta Buka Izin Impor Gula untuk Swasta
Sebelumnya, Peneliti dari Centre for Indonesia Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, dari hasil kajian, ada beberapa rekomendasi yang bisa ditempuh pemerintah dalam menjadikan industri gula lebih efisien dan harga gula bisa lebih rendah.
"Kami rekomendasikan dalam waktu 5 tahun ke depan, alangkah lebih baiknya pemerintah membuka impor tidak hanya BUMN, tapi pihak swasta yang qualified," kata Hizkia di Jakarta, Jumat (23/11/2018).
Di saat yang bersamaan, petani tebu dan juga pelaku industri gula harus bisa memacu produktivitas dan kualitas tebu yang dihasilkan. Salah satu caranya yaitu dengan mendorong investasi teknologi.
Diakuinya, saat ini mayoritas Pabrik Gula (PG) di Indonesia memiliki usia yang cukup tua, bahkan ada lebih dari 100 tahun. Dengan usia itu, jelas mesin-mesin yang digunakan kurang produktif.
Jika semua kebijakan itu dijalankan kurang lebih 10 tahun, petani dan industri gula nasional dianggap sudah bisa bersaing dengan gula impor.
"Ketika itu terjadi, baru hapuskan kuota impor. Jadi, biar mereka para pengusaha melakukan analisis pasar sendiri. Jadi, pasar gula semakin kompetitif. Pada akhirnya nanti terjadi harga gula terjangkau konsumen," kata dia.Â
Advertisement