Sukses

JK: Krisis 1998 Bikin RI Masih Harus Bayar Bunga Utang

Wapres Jusuf Kalla menegaskan, krisis 1998 menjadi pembelajaran untuk hadapi tantangan ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) menceritakan, pemerintah hingga saat ini masih terus belajar dari krisis keuangan yang sempat menimpa Indonesia pada periode 1998.

Catatan buruk itu menurut JK menjadi pelajaran berharga bagi negara untuk menghadapi tantangan ekonomi di masa depan.

Dia mengatakan, kejadian itu membuat pemerintah hingga saat ini masih harus melunasi beban bunga utang yang belum sepenuhnya terbayarkan.

"Tahun 1997-1998 Indonesia ditimpa krisis moneter yang akibatnya harus terus kita rasakan. Kita masih harus membayar bunga dan mencicilnya akibat krisis pada tahun itu," kata Jusuf Kalla di Jakarta, Jumat (11/1/2019).

Namun, ia menambahkan, kejadian itu menjadi pembelajaran penting bagi generasi di bawahnya untuk memastikan kondisi buruk seperti itu tidak terulang lagi.

"Kalau pada 20 tahun yang lalu krisis itu dibayar oleh rakyat. Pada tahun yang akan datang, tidak akan terjadi lagi," tegas dia.

Jusuf Kalla pun optimistis, masyarakat Indonesia bisa menghadapi tantangan ekonomi di tengah kisruh global seperti akibat perang dagang yang dilakukan Amerika Serikat (AS)-China.

"Walau pasti ada tantangannya,, kita optimis untuk menghadapi 2019 ini. Tentu dengan kebersamaan kita dari industri keuangan kita akan hadapi tahun ini dan juga tahun depan dengan kerjakeras dan kebersamaan," pungkas dia.

 

2 dari 2 halaman

OJK Optimistis terhadap Industri Keuangan RI

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) prediksi industri keuangan Indonesia akan tumbuh membaik pada 2019. Perekonomian RI bahkan tercatat stabil menghadapi gejolak ketidakpastian global pada 2018.

Ketua Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengatakan, kinerja sektor jasa keuangan yang positif juga akan terus berlangsung pada 2019. Kata dia, perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 5,3 persen dengan inflasi yang terjaga relatif rendah di level 3,5 persen.

"Kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan diperkirakan tumbuh kuat dengan pertumbuhan kredit perbankan di kisaran 13 plus minus 1 persen dengan Rasio NPL diproyeksikan turun di akhir tahun 2019,” tutur dia di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta, Jumat 11 Januari 2019.

Dia menambahkan, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan meningkat menjadi 8 hingga 10 persen. Oleh karena itu ia mengaku optimistis untuk industri perbankan.

Untuk industri pasar modal, pihaknya menargetkan sekitar 75 hingga 100 emiten baru pada 2019. Di Industri Keuangan Non Bank, pertumbuhan aset asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 10-13 persen dan 14-17 persen. 

Adapun aset perusahaan pembiayaan tumbuh 8 persen hingga 11 persen. Sementara, aset dana pensiun diperkirakan tumbuh moderat, sekitar 7 hingga 9 persen.

Sedangkan Dana Pensiun Pemberi Kerja sekitar 13 persen dan 16 persen untuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: