Sukses

Miliarder Ini Kritik Orang yang Hobi Beli Rumah Lalu Dibiarkan Kosong

Orang terkaya Hong Kong angkat bicara soal rumah kosong.

Liputan6.com, Hong Kong - Li Ka-shing, orang terkaya di Hong Kong, angkat suara mengenai krisis perumahan yang selama ini menjamah negaranya. Pria 90 tahun ini pun memberikan nasihat pada pembeli rumah.

Nasihatnya merupakan sindiran halus bagi orang-orang yang suka membeli rumah, kemudian tidak ditempatkan. Rumah-rumah pun dibiarkan kosong hanya untuk kemudian dijual lagi ketika harga melonjak.

"Tidak mengapa jika kamu membeli rumah untuk digunakan sesuai kebutuhan. Kamu seharusnya jangan pernah membeli rumah untuk spekulasi," jelas Li Ka-shing seperti dikutip South China Morning Post.

Menurut miliarder Hong Kong itu, tindakan demikian bisa menimbulkan volatilitas. Argumen Li Ka-shing tidak tanpa dasar, pasalnya harga rumah di Hong Kong sudah jatuh 7,2 persen dalam empat bulan terakhir.

Harga rumah di Hong Kong juga merupakan yang termahal di dunia. Akibatnya, luas hunian makin kecil sampai muncul fenomena "rumah kandang", dan banyak orang memilih tidur di McDOnald's.

Masalah pembangunan rumah untuk investasi juga menjadi masalah di Selandia Baru. Tahun lalu, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mulai melarang orang-orang asing untuk membeli rumah di negaranya.

Selandia Baru mengambil kebijakan itu demi mengurangi homelessness (tunawisma), sebab harga rumah terus naik selama 10 tahun terakhir. Pembeli terbesar rumah di Selandia Baru berasal dari Australia dan China. Tetapi, pembeli dari Australia tidak ikut dilarang membeli rumah.

2 dari 2 halaman

Banyak Orang Memilih Tidur di McDonald's

Semakin tingginya harga properti di Hong Kong berimbas pada meningkatnya angka tunawisma, termasuk salah satunya terlihat pada fenomena pengungsi di gerai McDonald's atau belakangan dikenal dengan julukan 'McRefugee'.

Laporan dari survei yang digelar oleh Tai Ping Shan Junior Chamber International menyebut bahwa selama lima tahun terakhir, jumlah McRefugee naik hingga enam kali lipat.

Dikutip dari South China Morning Post, survei tersebut dilakukan pada bulan Juni terhadap 334 orang yang diketahui menginap di gerai McDonald's setiap malam, selama setidaknya tiga bulan terakhir.

Dari total 110 cabang yang beroperasi 24 jam di Hong Kong, ditemukan sebanyak 84 orang McRefugee yang rutin menginap, dengan alibi membeli satu atau dua menu di jaringan restoran cepat saji asal Amerika Serikat itu.

Disebutkan bahwa hasil survei meningkat berkali-kali lipat dari penelitian serupa pada 2013 lalu, di mana hanya 57 orang yang dinilai sebagai McRefugee.

Survei terkait juga menemukan fakta bahwa cabang McDonald's di distrik Tsuen Wan menjadi cabang yang paling banyak dikunjungi McRefugee, yakni sekitar 30 orang setiap malamnya.

Usia para McRefugee itu berkisar antara 19 hingga 79 tahun, di mana 57 persen di antaranya memiliki pekerjaan tetap. Selain itu, 71 persen dari total 'pengungsi kota' itu menyewa kamar untuk tempat tinggal utama, namun merasa tidak nyaman karena sempit dan padat.

Menghemat biaya pendingin udara, serta kenyamanan dan keamanan, memuncaki daftar alasan yang diberikan oleh para McRefugee yang diwawancarai. Adapun alasan lain munculnya tren ini adalah karena faktor harga sewa tinggi, konflik dengan anggota keluarga, dan rendahnya kemampuan mengembangkan hubungan sosial.

Selain itu, warga Hong Kong yang menjadi McRefugee, baik rutin ataupun tidak, mengatakan bahwa hal tersebut membantunya mendapat akses ke tempat kerja yang lebih cepat, dan ada pula yang beralasan sembari menunggu kesempatan mendapat perumahan berbiaya rendah.