Sukses

INACA Buka-bukaan Soal Kondisi Maskapai Penerbangan Sulit Sejak 2016

Bisnis penerbangan memiliki beberapa variabel biaya pengeluaran yang sebagian besar dibayar dengan Dolar Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta Mahalnya harga tiket pesawat rute domestik di akhir tahun menuai protes masyarakat. Tarif tiket pesawat domestik dinilai mahal bahkan bila dibandingkan dengan tarif pesawat rute internasional.

Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Askhara) mengatakan kondisi maskapai-maskapai di tanah air saat ini sedang tidak baik. Maskapai umumnya sedang diterpa masalah keuangan terutama sejak terjadinya pelemahan nilai tukar Rupiah.

Pria yang juga merupakan Direktur Utama Garuda Indonesia Airlines tersebut menyebutkan bisnis penerbangan memiliki beberapa variabel biaya pengeluaran yang sebagian besar dibayar dengan Dolar Amerika Serikat (AS).

Sementara masyarakat yang membeli tiket menggunakan mata uang Rupiah. Pengeluaran maskapai sangat bergantung dengan volatilitas pasar.

"Semua masyarakat juga tahu pembayaran kami dari komponen biaya variabel. Semua komponen biaya dalam USD. Sedangkan dari kursnya sendiri berfluktuasi, harga komoditinya juga," kata Ari di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (15/1/2019).

Dalam hal avtur BBM sendiri, ada peningkatan harga yang signifikan. Sementara BBM merupakan komponen terbesar untuk biaya operasi maskapai, yaitu sekitar 40-45 persen.

"Kami catat dari INACA dari April 2016 sampai Desember 2018 harga terendah dan tertinggi untuk avtur itu sebesar 171 persen, kursnya 17 persen dan average kita 8 persen. Jadi kita punya struktur cost yang kompetitif. Kalau kontribusi paling besar memang dari fuel. Kontribusinya 40-45 persen," ujar dia.

Lalu ada komponen pembayaran leasing untuk sewa pesawat 20 persen. Perusahaan leasing ini lebih didominasi Eropa dan AS. Imbasnya, perbaikan atau maintenance dikuasai kedua perusahaan tersebut karena tipe pesawat di dominasi oleh Boeing dan Airbus.

"Jadi kami sangat tergantung pada fluktuasi dan license dari Airbus dan Boeing. 10 persennya biaya pegawai yang perlu makan. Dari Garuda sendiri 10 ribu karyawan, Citilink 2.000 , Sriwijaya 4.500. Jadi ini masyarakat yang perlu kami biayai dan masuk dalam komponen cost kita," ungkapnya.

Dari semua komponen pengeluaran tersebut, Ari menyebutkan margin keuntungan yang didapat maksimal hanya 3 persen saja. Itupun jika tarif tiket pesawat yang diterapkan mendekati tarif batas atas.

"3 persen itu sudah paling bagus dengan harga selangit (tiketnya). Sementara kemarin ketika Nataru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas. Sedangkan LCC hanya 60-70 persen dari batas atas," ungkap dia.

Ari mengaku kaget saat tarif pesawat bisa menjadi isu nasional. "Kondisi saya ini enggak mengerti kenapa jadi isu nasional sehingga sebelum kami akan menurunkan harga tiket pun pada tanggal 14 Januari dari high season jadi low season itu sudah dijadikan isu nasional dan sebelum itu kami sudah menurunkan," tegas dia.

Dia juga mengaku telah banyak dicecar pertanyaan tentang kapan tarif pesawat akan turun. Adapunemungkinan pengurangan tarif rata-rata yang bisa dilakukan oleh maskapai adalah 30 persen. Perhitungan ini sudah sesuai dengan batas terendah agar maskapai tidak rugi. "Itu batas kemampuan mereka. Itu batas yang mereka bisa kompensasikan supaya tidak rugi."

Kondisi itu memaksa maskapai untuk berinovasi mencari sumber pendapatan lain agar tidak rugi. Sebab pendapatan dari penjualan tiket tidak mampu menutup pengeluaran. "Lion Air dari baggage, Garuda dari kargo. Dari harga tiket sendiri, kita sudah kelelep," ujarnya.

Kondisi ini juga diperparah oleh keputusan pemerintah yang tidak menaikkan tarif batas atas pesawat sejak tahun 2016 dengan pertimbangan daya beli masayrakat. Padahal, moda tranportasi lain seperti bus dan kereta api tarifnya sudah naik berkali-kali.

"Kami mengerti pemerintah tidak bisa menaikkan dari 2016 karena melihat daya beli masyarakat, oleh karena itu kami tidak pernah demo untuk menaikkan harga," ujarnya.

Selain itu, maskapai juga masih memiliki pengeluaran layanan infrastruktur seperti untuk pengelola bandara yaitu Angkasa Pura dan Airnav selaku pengatur lalu lintas udara.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Sebelumnya, kelesuan bisnis penerbangan di tanah air juga pernah diungkapkan oleh Direktur Utama Lion Air, Edward Sirait. Dia mengatakan tahun 2016 hingga sekarang merupakan masa-masa terberat untuk dunia penerbangan.

Dia mengklaim semua maskapai yang ada di dalam negeri mengalami kerugian serupa."Berat, gak ada yang gak berat. Semuanya (maskapai rugi), gak ada airlines di Indonesia setau saya yang untung," kata Edward.

Edward mengatakan, bisnis penerbangan mengalami kondisi keuangan yang berat sejak tahun 2016. Tidak heran jika ada maskapai yang sampai menutup perusahaannya.

"Rugi makin besar, bahagia hanya sampai Tahun 2015 saja, Tahun 2016 ya masih bisa senyum, 2018 gigit jari, intinya berat. Jadi jangan dikata ada perusahaan yang akhirnya angkat bendera putih (menyerah) itu nyata, itu bukan hanya bicara risk management ya itu pertempuran kan," dia menandaskan.

Edward menjelaskan beberapa penyebab kerugian di antaranya adalah nilai tukar rupiah yang tidak stabil, lesunya daya beli penumpang dan harga bahan bakar pesawat yang naik.

"Kita punya nilai tukar lumayan tinggi kan, kemudian di akhir-akhir tahun ini harga fuel kan naik. Terus ada masa kemarin itu penumpangnya agak lesu kan, jadi berat. Walaupun secara total penumpang nasionalnya tetap bertumbuh, tetapi bagi airlines gak bisa naikin yield, makanya teriak semua," kata dia.

Edward berharap harga minyak dunia tidak akan bergejolak agar tidak mempengaruhi stabilitas keuangan maskapai penerbangan. "Makanya nih mudah-mudahan kan minyak mentah naik nih, kalau avtur naik lagi ya makin berat," keluhnya.

Kondisi tersebut, lanjutnya, juga terjadi di beberapa maskapai di negara lain. "Bisnis airlines secara global sama kok, Emirates juga sama, yang saya tahu ya, airlines-airlines the best untung gak segede tahun sebelumnya. Semua rugi, berat. Cuma masalah besaran (kerugian) berbeda-beda."

Kendati demikian, Edward enggan mengungkapkan berapa total kerugian yang diderita perusahaannya. Selain itu, proses audit masih berlangsung sehingga total kerugian pastinya belum diketahui.

"Relatif ya, pokoknya rugi lah. Intinya rugi naik dibanding 2016. Kalau ditanya ruginya besar, ya besar, berapa nilai nominalnya tunggu hasil audit.

Edward saat ini tengah gencar melakukan penerbangan malam hari sebagai salah satu strategi menutup kerugian perusahaan. "Kami sudah lakukan peningkatan-peningkatan utilisasi dengan terbang malam ke China kemudian lakukan efisiensi, salah satu yang kami kejar itu kan dalam rangka untuk kurangi ketergantungan penggunaan valas yang notabene akan pengaruh ke operasional penerbangan kan."