Liputan6.com, Jakarta PT Hero Supermarket Tbk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 532Â karyawan sepanjang 2018. Itu seiring langkah perseroan menutup 26 gerai jaringan ritel Giant Supermarket.
Fenomena gulung tikar ritel sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Sejak dua tahun lalu, tercatat 7-Eleven (Sevel), PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (Ramayana), PT Matahari Department Store Tbk dan Lotus juga mengalami nasib sama.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, bangkrutnya sejumlah toko ritel ini disebabkan oleh pola belanja yang semakin berubah. Masyarakat kini cenderung lebih banyak memanfatkan belanja online (e-commerce).
Advertisement
Baca Juga
"Ya sudahlah kalau soal ritel karena dunia sedang berubah. Ada e-commerce," ujar Menko Darmin di Kantornya, Jakarta, Jumat (18/1/2019).
Dia melanjutkan, selain faktor perubahan pola belanja, persaingan antar ritel juga mempengaruhi. Akhir-akhir ini semakin banyak ritel yang membuka usaha dekat dengan masyarakat dengan penyediaan kebutuhan lengkap.
"Di kita khusus di Indonesia ada fenomena yang namanya Indomart, alfamart, itu memang merubah konstalasi. Mesti ada yang tersingkir ya. (Ada persaingan) Ya antar ritel," jelasnya.
Sebelumnya, Corporate Affairs GM PT Hero Supermarket Tbk, Tony Mampuk, mengatakan terus memburuknya kinerja perusahaan sejak kuartal III 2018 membuat perusahaan terpaksa melakukan PHK karyawan.
"Sampai dengan kuartal III tahun 2018, PT Hero Supermarket mengalami penurunan total penjualan sebanyak 1 persen atau senilai Rp 9,849 triliun di mana perolehan tahun 2017 adalah Rp 9,961 miliar," terangnya di kantor Pusat PT Hero Supermarket Tbk, beberapa waktu lalu.
Diterangkan Tony, penurunan kinerja ritel itu disumbang oleh sektor makanan yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. "Meski demikian, bisnis non makanan tetap menunjukkan pertumbuhan yang cukup kuat. Atas hal tersebut, perusahaan meyakini bahwa keputusan akan langkah efisiensi tersebut adalah hal yang paling baik dalam menjaga laju bisnis yang berkelanjutan," terang Tony.
Menurut Tony, PT Hero Supermarket Tbk (HERO Group), telah menerapkan strategi yang mendukung keberlanjutan bisnis dengan memaksimalkan produktivitas kerja melalui proses efisiensi.
"Sejauh ini dari 532 karyawan yang terdampak dari kebijakan efisiensi tersebut, sebanyak 92 persen karyawan telah mengerti dan memahami kebijakan efisiensi ini dan menyepakati untuk mengakhiri hubungan kerja," kata dia.
 Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Sektor Ritel Masih Tertekan pada 2019, Ini Pemicunya
Industri ritel diprediksi masih tertekan ke depan. Hal itu didorong dari sejumlah faktor, salah satunya konsumsi rumah tangga.
Untuk mengatasi tekanan, sejumlah perusahaan ritel memiliki strategi dengan efisiensi, seperti menutup gerai dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Salah satunya baru-baru ini dilakukan PT Hero Supermarket Tbk dengan menutup 26 gerai dan PHK 532 karyawan pada 2018.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan, hal tersebut masih akan berlanjut pada 2019 lantaran banyak faktor yang melatarbelakanginya.
Baca Juga
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adinegara menilai, gejolak sektor bisnis ritel pada 2018 disebabkan karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga terbilang stagnan.
"Retail masih tumbuh rendah tahun 2018 kemarin, karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga enggak naik signifikan, rata-rata stagnan di 5 persen," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (15/1/2019).
Merujuk catatan pada kasus Hero Supermarket, ia melihat ada penurunan penjualan di bidang makanan hingga 6 persen. Ia menuturkan, itu merupakan indikator adanya perlambatan konsumsi rumah tangga.
Akibatnya, dia menghitung hingga sejauh ini ada sekitar lima ritel yang menutup usahanya. Antara lain 7 Eleven (Sevel), gerai Matahari di Pasaraya Blok Mahakam dan Manggarai, Lotus, Debenhams, dan GAP.
"Sementara yang mengurangi gerai ada Hero Group dan MAP," ia menambahkan.
Bhima pun memperkirakan, gelombang penutupan ritel ini tetap akan berlanjut pada 2019 selama konsumsi rumah tangga dan daya beli melemah. "Kondisi makro memang mulai pulih, tapi sangat lambat," tegas dia.Â
Faktor lainnya, ia menyebutkan, harga komoditas perkebunan yang rontok juga bakal mempengaruhi daya beli masyarakat, baik di Jawa maupun luar Jawa.Â
Selain itu, dia memandang masyarakat masih banyak yang menahan diri untuk belanja meskipun inflasi hanya menyentuh 3,1 persen. "Ada pemilu juga yang bikin masyarakat khawatir gaduh. Ini terutama kondisi kelas menengah perkotaan," ia menambahkan.
Dia juga turut menyoroti faktor bunga kredit yang semakin mahal. Hal itu membuat masyarakat berpikir berulang kali untuk berbelanja dengan kartu kredit.
"Belum cicilan rumah dan kendaraan bermotor jadi naik. Alokasi untuk beli kebutuhan pokok di supermarket berkurang," ujar dia.
Â
Advertisement