Sukses

Aturan DP 0 Persen Kendaraan Bermotor Kontraproduktif dengan Proyek MRT

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan kebijakan terkait pembelian kendaraan bermotor dengan uang muka atau down payment (DP) 0 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan kebijakan terkait pembelian kendaraan bermotor dengan uang muka atau down payment (DP) 0 persen. aturan tersebut Itu tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 35/POJK/05.2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Pasal 20.

Beberapa pihak menilai, kehadiran aturan tersebut memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar tak berimplikasi merugikan, baik bagi industri otomotif, perusahaan pembiayaan hingga masyarakat pengguna jasa.

Wakil Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menyatakan, pemerintah seolah luput mengingatkan masyarakat akan adanya kenaikan bunga.

Kritik ini ia salurkan lantaran pembelian mobil atau motor tanpa uang muka bisa membuat konsumen mengambil tenor agak panjang yang berakibat adanya kenaikan bunga pada setiap tahun cicilan.

"DP 0 persen ini kan bisa buat jangka waktu pembayaran lebih panjang, pada saat bersamaan bunga pinjaman juga meninggi. Itu harusnya diumumkan pemerintah juga kepada masyarakat," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (18/1/2019).

Selain itu, ia menganggap, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan inkonsisten telah mengesahkan kebijakan tersebut. Sebab, lanjutnya, itu tak sejalan dengan misi untuk menghidupkan transportasi publik sebagai moda angkutan utama bagi masyarakat.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Transportasi Publik

Senada, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit berpendapat, DP kendaraan 0 persen ini bisa membuat masyarakat lebih memilih untuk membeli kendaraan pribadi dibanding memanfaatkan transportasi publik yang sudah pemerintah sediakan.

"Kontraproduktif jadinya, terutama di Ibukota (Jakarta) yang nantinya akan ada LRT, MRT dan sebagainya," sambung dia.

Sehingga, ia meneruskan, biaya akibat kemacetan bisa makin membesar serta adanya penurunan produktivitas di wilayah perkotaan. Tak hanya itu, tambahnya, kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selama ini pemerintah impor bakal makin membengkak.

"Kementerian Keuangan dan pihak terkait seharusnya membuat relaksasi kebijakan dan memperhatikan hal ini. Apalagi sekarang impor BBM dan defisit membesar sepanjang statistik yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik)," ujar dia.