Liputan6.com, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Sugeng mengatakan, hingga saat ini, inklusi keuangan sudah mencapai 49 persen di Indonesia.
Dia menyampaikan, inklusi keuangan Indonesia ditargetkan mencapai 75 persen pada 2019.
"(Inklusi keuangan?) Sudah 49 persen. Target kita tahun ini 75 persen," kata dia, saat ditemui, di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (21/1/2019).
Advertisement
Oleh karena itu, pihaknya bersama Pemerintah dan lembaga terkait akan terus berupaya mendorong dan mendukung gerakan keuangan inklusif.
Baca Juga
"Makanya ada gerakan menabung nasional. Seluruh nasional. Makanya ada perlu penguatan dari legalnya kita support. Coba bayangin karena ribuan sekolah nanti dari OJK detailnya," ujar dia.
Mengutip laman Bank Indonesia, kebijakan keuangan inklusif suatu bentuk pendalaman layanan keuangan yang ditujukan kepada masyarakat bawah untuk memanfaatkan produk dan jasa keuangan formal seperti sarana menyimpan uang yang aman, transfer, menabung maupun pinjaman dan asuransi.
Hal ini dilakukan tidak saja menyediakan produk dengan cara sesuai tapi dikombinasikan dengan berbagai aspek.
Â
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Masih Banyak Masyarakat Indonesia Belum Paham Layanan Jasa Keuangan
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK)Â melaporkan bahwa inklusi keuangan Indonesia pada 2016 telah mencapai 67,8 persen. Namun demikian, dari angka tersebut baru 29,7 persen masyarakat Indonesia yang benar-benar memahami layanan jasa keuangan.
"Hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2016 menunjukkan baru 67,8 persen masyarakat yang telah menggunakan produk dan layanan jasa keuangan. Namun, hanya 29,7 persen masyarakat yang memiliki pemahaman tentang jasa keuangan ini sangat rendah," ujar anggota Dewan Komisioner bidang Edukasi dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tirta Segara, di Grand Hyatt, Jakarta, Kamis 26 April 2018.
Angka 29,7 persen menunjukkan masyarakat berpartisipasi dalam layanan keuangan, tetapi tidak memahami detail mengenai risiko jasa keuangan yang digunakan.
Sementara itu, hasil survei juga mencatat hanya 36 persen masyarakat yang memiliki keinginan untuk mengetahui risiko dan kewajibannya sebagai seorang nasabah.
"Survei tersebut menunjukkan bahwa masyarakat lebih tertarik untuk mengetahui manfaat suatu fitur dan layanan jasa keuangan dibandingkan tahu risiko maupun kewajiban konsumen terhadap produk layanan jasa keuangan," kata dia.
Tirta mencontohkan, minimnya pengetahuan masyarakat mengenai layanan jasa keuangan adalah ketika melakukan klaim asuransi yang dimiliki pemilik kendaraan bermotor.
Banyak masyarakat tidak mengetahui bahwa jika sudah melakukan perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan membayar pajak kendaraan maka otomatis memiliki asuransi kecelakaan.
"Sering saya sampaikan juga keberadaan asuransi yang dimiliki oleh setiap pemilik kendaraan bermotor. Kita sebagai pemilik kendaraan bermotor memiliki kewajiban untuk memperpanjang STNK dan membayar pajak kendaraan setiap tahun. Dengan ketidakpahaman tersebut ketika masyarakat mengalami musibah, banyak di antara kita tidak melakukan klaim karena memang tidak paham kalau kita sudah bayar premi asuransi kecelakaan," jelasnya.
Untuk itu, Tirta mengatakan, peran perbankan atau jasa keuangan lainnya dalam memberikan informasi dan layanan kepada masyarakat harus lebih terbuka.
Penyedia jasa keuangan wajib memberitahukan informasi secara lengkap kepada masyarakat sebelum melakukan penandatangan perjanjian atau kontrak.
"Keefektifan, transparansi dan keterbukaan informasi dapat tercapai salah satunya melalui keseragaman bentuk dari informasi yang sampaikan. Sehingga masyarakat dapat dengan mudah membandingkan produk soal jasa keuangan dan lainnya. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya kerja sama," dia menjelaskan.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement