Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati mengaku, utang pemerintah yang bertambah sepanjang 2018 sebenarnya tidak perlu dijadikan isu.
Dia mengaku, utang yang dilakukan pemerintah sudah sesuai dengan kemampuan Indonesia. Memang, pada 2018 pemerintah membutuhkan banyak pendanaan untuk pembangunan nasional, terutama dalam mempercepat pengembangan infrastruktur dalam negeri.
Namun, semua itu tujuan akhirnya demi menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih berkualitas.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi utang tidak hanya dihitung dari sisi nominalnya, tapi juga dihubungkan dengan seluruh perekonomian, apakah terjaga dengan baik. Kala kita lihat terjaga tidak? Terjaga lah. Pertumbuhan ekonomi kita di atas 5 persen dengan defisit makin kecil, bahkan kita menunjukkan primary balance kita hampir nol," tegas Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Rabu (23/1/2019).
Ia menuturkan, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau GDP yang ditetapkan sebagai ambang batas yaitu sebesar 30 persen. Hingga saat ini, rasio tersebut masih terjaga dengan baik.
Bahkan, Sri Mulyani coba membandingkan dengan beberapa negara berkembang di dunia yang rasionya lebih besar tapi pertumbuhan ekonomi melambat.
"Bayangkan, defisit kita tahun lalu itu hanya 1,7 persen. Sementara negara lain defisit lebih gede, ekonomi tumbuh lebih rendah dari kita. Itu segala sesuatu yang kita lihat," tegas Sri Mulyani.
"Poin sah utang adalah alat yang digunakan secara hati-hati dengan bertanggung jawab, dibicarakan secara transparaan, bukan ujug-ujug, tidak ugal-ugalan," lanjut dia.
Â
Total Utang Pemerintah pada 2018
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat sepanjang 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun. Angka ini naik jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2017 yaitu sebesar Rp 3.995,25 triliun.
Mengutip data APBN Kita edisi Januari 2019, utang tahun lalu berasal dari pinjaman dan penerbitan surat berharga. Pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan surat berharga sebesar Rp 3.612,69 triliun.
"Pengelolaan utang yang pruden dan akuntabel di tengah kondisi pasar 2018 yang volatile. Rasio utang Pemerintah terkendali, sebesar 29,98 persen terhadap PDB," demikian ditulis Kemenkeu.
Masih sumber yang sama, pinjaman berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 799,04 terdiri dari bilateral Rp 330,95 triliun, multilateral Rp 425,49 triliun dan komersial Rp 42,60 triliun. Sementara itu, pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun.
Dari Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah menarik utang sebesar Rp 3.612,69 triliun. Dalam denominasi Rupiah sebesar Rp 2.601,63 triliun terdiri dari surat utang negara Rp 2.168,01 triliun dan surat berharga syari’ah negara Rp 433,63 triliun.
"Denominasi valas sebesar Rp 1.011,05 triliun, surat utang negara Rp 799,63 triliun dan surat berharga syari’ah negara sebesar Rp 211,42 triliun," tulis Kemenkeu.
Sepanjang 2018, pengelolaan pembiayaan utang semakin membaik. Hal tersebut ditunjukkan dengan realisasi utang yang hingga akhir 2018 semakin menurun baik untuk Surat Berharga Negara (Neto) maupun untuk Pinjaman (Neto) serta diluncurkannya program dan format baru pembiayaan.
"Salah satu program pembiayaan yang diluncurkan Pemerintah pada 2018 adalah penerbitan Green Global Sukuk di bulan Februari 2018. Green Global Sukuk merupakan program pembiayaan untuk mendukung pelestarian lingkungan hidup," tulis Kemenkeu.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Advertisement