Liputan6.com, Jakarta Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menciptakan peluang baru bagi Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa perusahaan manufaktur Negeri Tirai Bambu yang ingin memindahkan basis produksinya ke Indonesia demi menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS.
“Beberapa industri tekstil dan alas kaki global sedang mempertimbangkan pemindahan pabrik dari China ke Indonesia,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Baca Juga
Dia memastikan, pihaknya terus mendorong peningkatan investasi, terutama di sektor yang menjadi prioritas dalam penerapan industri 4.0 sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. Industri tekstil dan pakaian jadi, menjadi salah satu sektornya.
Advertisement
Rencananya pada 2019, ada investor China yang bakal menanamkan modal sebesar Rp 10 triliun di sektor industri tekstil. Investasi ini mengarah kepada pengembangan sektor menengah atau midstream, seperti bidang pemintalan, penenunan, pencelupan, dan pencetakan.
Menurut dia, hal tersebut menunjukkan jika Indonesia dinilai menjadi salah satu negara tujuan utama bagi investor China. Ini seiring pula dengan komitmen pemerintah yang terus menciptakan iklim investasi kondusif dan memberikan kemudahan dalam proses perizinan usaha.
“Salah satu contohnya, para investor dari China membangun kawasan industri baru di Sulawesi Tengah, yang selama lima tahun ini telah berinvestasi sebanyak USD 5 miliar dan ekspor dari lokasi tersebut sudah mencapai USD 4 miliar,” papar dia.
Airlangga menjelaskan, selain ada penambahan investasi baru, perang dagang AS-China juga membawa dampak bagi pelaku industri di Indonesia untuk memacu utilitas atau kapasitas produksinya. Hal ini dalam rangka mengisi pasar ekspor ke dua negara tersebut.
Sebagai contoh, untuk produk baja. Pada Januari-November 2018, ekspor besi dan baja RI ke AS melonjak hingga 87,7 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan total ekspor RI ke AS tercatat tumbuh 3 persen pada periode yang sama.
“Kita telah ekspor baja ke AS, sehingga harapannya bisa memasukkan lebih banyak lagi produk itu,” lanjut dia.
Airlangga mengemukakan, kerja sama ekonomi RI-AS selama ini bersifat komplementer guna saling memenuhi kebutuhan pasar dan sektor manufaktur masing-masing negara. Bahkan, dengan adanya era ekonomi digital baru dari AS, juga ikut membuka peluang pengembangan di Indonesia.
“Misalnya, kami sudah mendapat investasi berupa Apple Developer Academy. Pemerintah juga menjajaki peluang pembangunan data center di Indonesia,” ungkap dia.
Dia juga menekankan, perang dagang pada akhirnya hanya akan menurunkan kinerja perekonomian global. Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkisar 3-3,6 persen, tidak membawa dampak baik pula bagi kondisi di Indonesia. Termasuk juga terjadi di ASEAN.
"Norma baru dengan pertumbuhan yang rendah merupakan kondisi yang tidak ideal bagi semua. Melihat perspektif global economy going forward, pertumbuhan ekonomi yang tinggi pasti lebih baik bagi semuanya,” tandas Airlangga.