Sukses

Krisis Venezuela Bikin Harga Minyak Melambung

Harga minyak menguat tipis menyambut akhir pekan didorong kekacauan politik di Venezuela.

Liputan6.com, New York - Harga minyak menguat tipis menyambut akhir pekan didorong kekacauan politik di Venezuela.

Kondisi di Venezuela mengancam memperketat pasokan minyak mentah tetapi kekhawatiran atas melonjaknya stok bahan bakar AS dan melambatnya ekonomi global membebani sentimen.

Harga minyak Brent naik 55 sen atau 0,9 persen ke posisi USD 61,64 per barel. Namun, harga minyak Brent telah terpangkas 1,7 persen sejak awal perdagangan dan berada  di jalur yang membukukan kerugian pertama dalam empat minggu.

Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 56 sen atau 1,05 persen ke posisi USD 53,69 per barel. Harga minyak berjangka WTI turun sekitar 0,2 persen pada pekan ini, dan membukukan penurunan minggu pertama dalam empat minggu.

Amerika Serikat (AS) memberi isyarat kalau mungkin menjatuhkan sanksi terhadap ekspor Venezuela usai mengakui pemimpin oposisi Juan Guiado sebagai presiden. Hal ini mendorong Presiden Nicholas Maduro untuk memutuskan hubungan dengan pemerintahan AS.

Namun, perselisihan perdagangan AS dan China yang sedang berlangsung dan kesuraman lebih luas atass pertumbuhan ekonomi dunia mempengaruhi harga.

RBC Eropa meramalkan kalau sanksi-sanksi AS hampir dapat menggandakan kekurangan produksi yang diproyeksikan dari Venezuela.

"Produksi Venezuela akan turun 300.000-500.000 barel per hari (bpd) tambahan tahun ini, tetapi langkah-langkah sanksi seperti itu dapat memperluas penurunan produksi beberapa ratus ribu barel," ujar dia.

Namun, sejumlah analis menuturkan, sanksi langsung mungkin tidak terjadi. "Kami melihat blokade pada impor Venezuela sebagai probabilitas rendah dan langkah terakhir yang kemungkinan berminggu-minggu jika tidak beberapa bulan lagi akan terwujud," ujar Jim Ritterbusch, Presiden Ritterbusch and Associates, dalam sebuah catatan yang dikutip dari laman Reuters, Sabtu (26/1/2019).

"Situasi yang berkembang di Venezuela, tampaknya mampu menunda harga yang diharapkan USD 50," ia menambahkan.

Pasar minyak global masih dipasok dengan baik, sebagian karena lonjakan produksi AS. Rekor produksi AS kemungkinan akan mengimbangi gangguan jangka pendek apa pun terhadap pasokan Venezuela karena kemungkinan sanksi AS. Hal itu disampaikan Barclays Inggris dalam sebuah catatan.

Barclays memangkas rata-rata perkiraan harga minyak Brent pada 2019 menjadi USD 70 per barel dari sebelumnya USD 72.

Perusahaan energi AS juga pada pekan ini meningkatkan jumlah rig minyak yang beroperasi untuk pertama kalinya pada 2019. Pengebor menambahkan 10 rig minyak dalam seminggu hingga 25 Januari. Ini menjadikan jumlah totalnya menjadi 862.

Lonjakan produksi minyak AS telah menambah stok bahan AS. Berdasarkan data resmi yang dirilis pada Kamis menunjukkan persediaan minyak mentah naik 8 juta barel pada pekan lalu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Keuntungan penyulingan untuk bensin turun di seluruh dunia karena konsumsi berhenti di tengah gelombang besar pasokan baru untuk hasilkan rekor persediaan di Asia, Amerika Serikat, dan Eropa.

Di pasar AS, margin bensin merosot USD 5,7 per barel pada Kamis pekan ini. Level itu terendah sejak 2009 terbebani oleh lemahnya permintaan untuk bahan bakar dan kelebihan pasokan.

Analis telah memperkirakan pasar lebih seimbang karena pakta pengurangan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, serta potensi gangguan ekspor di Venezuela, Iran dan Libya.

"Sementara keadaan saat ini adalah harga yang konstrukstif untuk minyak, pasar ragu-ragu masuk ke komoditas dengan melihat prospek global," ujar Global Head of Commodity Markets BNP Paribas, Harry Tchillinguirian.

Permintaan mungkin melambat karena perlambatan ekonomi global yang akan kurangi konsumsi bahan bakar.

Selain itu, perselisihan perdagangan antara AS dan China, pengetatan kondisi keuangan di seluruh dunia telah merusak aktivitas manufaktur di sebagian besar ekonomi termasuk di China. Ekonomi China alami pertumbuhan terlemah hampir 30 tahun.

Berdasarkan jajak pendapat Reuters terhadap ratusan ekonom di seluruh dunia menilai, perlambatan ekonomi global sedang berlangsung dan akan semakin dalam jika perang dagang AS-China meningkat.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.