Sukses

Jawaban Sri Mulyani soal Bunga Utang yang Naik

Ekonom Faisal Basri menyoroti soal utang dan bunga utang yang meningkat pada pemerintahan Jokowi-JK.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Faisal Basri menyebut, selama pemerintahan Jokowi-JK, utang Indonesia naik 69 persen, dari Rp 2.605 triliun pada 2014 menjadi Rp 4.418 triliun pada 2018.

Selain nominal utang, Faisal juga menyoroti beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan, beban pembayaran utang pada 2014 lebih rendah karena berbagai hal. Pertama, kebijakan moneter pada tahun tersebut lebih longgar dan kedua saat itu Bank Indonesia juga menurunkan suku bunga acuan.

"Maka pasti dengan stok utang yang lebih kecil dengan suku bunga rata-rata internasional dan dalam negeri yang lebih rendah, ya pasti pembayaran bunganya lebih moderate," ujar Sri Mulyani di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Sri Mulyani melanjutkan, empat tahun kemudian pada 2018 berbagai kondisi turut mempengaruhi nominal dan bunga utang Indonesia. Salah satunya kenaikan suku bunga dunia dan suku bunga acuan Bank Indonesia sebanyak 7 kali.

"Tapi juga suku bunga dunia sekarang meningkat, ditambah BI menaikkan suku bunga, sudah 7 kali kan kenaikan suku bunga Indonesia. Namun, yang harus dilihat, yang dibandingkan itu ya tidak hanya nominal," ujar dia.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, sebaiknya APBN tidak hanya dilihat dari besaran utang. Namun juga harus dilihat komponen lain penyusun APBN yang terjaga seperti defisit dan keseimbangan primer.

"Kalau nominalnya ini bergerak tapi nominal lain tidak dilihat, itu jadi membingungkan, atau cenderung dianggap untuk menakut-nakuti masyarakat," ujar dia.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

 

2 dari 2 halaman

Utang Sentuh Rp 4.418 Triliun

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat utang pemerintah pusat sepanjang 2018 sebesar Rp 4.418,3 triliun.

Angka ini naik jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2017 yaitu sebesar Rp 3.995,25 triliun.

Mengutip data APBN Kita edisi Januari 2019, utang tahun lalu berasal dari pinjaman dan penerbitan surat berharga. Pinjaman sebesar Rp 805,62 triliun dan penerbitan surat berharga sebesar Rp 3.612,69 triliun.

"Pengelolaan utang yang pruden dan akuntabel di tengah kondisi pasar 2018 yang volatile. Rasio utang Pemerintah terkendali, sebesar 29,98 persen terhadap PDB," demikian ditulis Kemenkeu, Jakarta, Selasa 22 Januari 2019.

Masih sumber yang sama, pinjaman berasal dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 799,04 terdiri dari bilateral  Rp 330,95 triliun, multilateral Rp 425,49 triliun dan komersial Rp 42,60 triliun. Sementara itu, pinjaman dalam negeri sebesar Rp 6,57 triliun.

Dari Surat Berharga Negara (SBN) pemerintah menarik utang sebesar Rp 3.612,69 triliun. Dalam denominasi Rupiah sebesar Rp 2.601,63 triliun terdiri dari surat utang negara Rp 2.168,01 triliun dan surat berharga syari’ah negara Rp 433,63 triliun.

"Denominasi valas sebesar Rp 1.011,05 triliun, surat utang negara Rp 799,63 triliun dan surat berharga syari’ah negara sebesar Rp 211,42 triliun," tulis Kemenkeu.

Sepanjang 2018, pengelolaan pembiayaan utang semakin membaik. Hal tersebut ditunjukkan dengan realisasi utang yang hingga akhir 2018 semakin menurun baik untuk Surat Berharga Negara (Neto) maupun untuk Pinjaman (Neto) serta diluncurkannya program dan format baru pembiayaan.

"Salah satu program pembiayaan yang diluncurkan Pemerintah pada 2018 adalah penerbitan Green Global Sukuk di bulan Februari 2018. Green Global Sukuk merupakan program pembiayaan untuk mendukung pelestarian lingkungan hidup," tulis Kemenkeu.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Â