Sukses

Sri Mulyani: Ekonomi RI Bukan cuma Utang, Rupiah, dan Defisit

Sri Mulyani menilai masyarakat kerap kali dibingungkan dengan instrumen fiskal negara.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku heran karena isu utang yang merebak di masyarakat. Terlebih di masa kampanye seperti sekarang ini.

Hal itu dia sampaikan di hadapan ratusan investor yang menghadiri acara Mandiri Investment Forum 2019 di Fairmont Jakarta, Rabu (30/1/2019).

Dia mengungkapkan, bukan hanya utang yang sering disengketakan, pelemahan rupiah sepanjang 2018 juga jadi perhatian banyak pihak. Padahal, utang maupun pelemahan Rupiah bukan satu-satunya tolak ukur bagi kesehatan perekonomian Indonesia.

"Selama masa kampanye seperti sekarang, orang banyak yang masih bingung atau tak memahami apa itu instrumen fiskal," kata Sri Mulyani.

Dia mengungkapkan, masyarakat kerap kali bingung dengan instrumen fiskal negara, bahkan cenderung menjadi isu semata. Sehingga yang banyak diekspos hanya masalah utang dan pajak.

"Maksud saya hari ini adalah bahwa Indonesia terlalu terobsesi dengan utang, pelemahan Rupiah, dan defisit. Meskipun hal utama adalah fiskal dapat memainkan kebijakan yang tepat untuk menjaga perekonomian. Mereka seringkali bingung bahwa intrumen fiskal menjadi obyektif atau dilihat sebagai isu dibanding sebagai instrumen fiskal atau alat, jadi mereka seringkali terobsesi dengan rasio pajak dan utang," ujarnya.

Menurut dia, ekonomi dunia saat ini dalam keadaan panas dan penuh ketidakpastian. Harga berbagai komoditas bisa naik atau turun setiap saat tanpa bisa diprediksi. Namun, di tengah kondisi tersebut, Indonesia terbukti dapat bertahan lebih baik dibanding negara lain. Seperti Turki misalnya.

"Salah satu buktinya adalah bahwa pemerintah mampu mengumpulkan pendapatan pajak (pajak dan bea cukai) yang telah tercatat meningkat," ujarnya.

Sepanjang 2018, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp1.521,4 triliun atau 94 persen dari target APBN 2018 sebesar Rp1.618,1 triliun.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak nonmigas adalah Rp1.251,2 triliun, naik 13,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Realisasi pajak nonmigas mencapai 90,3 persen dari target APBN 2018 sebesar Rp1.385,9 triliun.

"Jadi, ini bukan hanya tentang utang atau depresiasi Rupiah, tetapi (kondisi ekonomi Indonesia) adalah hasil dari banyak hal yang melintasi berbagai sektor. Salah satunya adalah pendapatan negara dari pajak," ujarnya.

Dia menjelaskan, instrumen penerimaan pajak dapat digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat. Untuk alasan ini, pemerintah berkomitmen melanjutkan upayanya untuk mengumpulkan pendapatan pajak dan mempertahankan momentum.

"Kami akan terus meningkatkan pendapatan pajak dan menjaga mereka seimbang," ucapnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Rupiah Melemah Tertekan Masalah Perang Dagang AS-China

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan Rabu ini. Pada perdagangan hari ini, rupiah kemungkinan akan berada di kisaran 14.050 per dolar AS sampai dengan 14.100 per dolar AS

Mengutip Bloomberg, Rabu (30/1/2019), rupiah dibuka di angka 14.089 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.094 per dolar AS. Namun kemudian, menjelang siang rupiah melemah ke 14.125 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.087 per dolar AS hingga 14.125 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih menguat 1,84 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.112 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.098 per dolar AS.

Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail memprediksi nilai tukar rupiah pada Rabu ini akan bergerak melemah dipicu stabilnya dolar AS sebagai safe haven.

"Sentimen dari stabilnya indeks dolar dan lelang SUN kemarin, kemungkinan akan membuat rupiah melemah," ujar Ahmad seperti dikutip dari Antara.

Menurut dia, stabilnya dolar AS ditopang oleh bervariasinya sentimen yang terjadi. Salah satunya adalah ekspektasi pasar terhadap kemungkinan tidak akan dinaikkannya tingkat suku bunga bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), akibat kinerja perusahaan-perusahaan AS melemah sebagai sinyal perlambatan ekonomi negara tersebut.

"Selain itu, kembali tingginya ketidakpastian terkait perjanjian perdagangan antara AS-China setelah AS menuduh perusahaan teknologi China Huawei melanggar sanksi AS atas Iran, membuat investor tidak dapat melepaskan dolar sebagai aset safe haven," ujar Ahmad.

Dari dalam negeri sendiri, penurunan terhadap penawaran yang masuk terhadap lelang Surat Utang Negara (SUN) kemarin dari Rp55,6 triliun pada lelang SUN sebelumnya menjadi Rp 48,6 triliun, menjadi katalis yang cukup negatif terhadap rupiah.

"Rupiah kemungkinan melemah ke angka 14.050 per dolar AS sampai dengan 14.100 per dolar AS," kata Ahmad.